Selasa, 14 Maret 2017
Rabu, 10 Desember 2014
18.48
No comments
LOMBA TERNAK
KAMBING SABURAI TINGKAT KABUPATEN TANGGAMUS-LAMPUNG
10 Desember 2014
Pekon Sidorejo, Kec. Sumberejo, Tanggamus-Lampung
Kambing saburai merupakan persilangan kambing jantan boer dengan betina etawa/jawarandu/rambon. Secara detail sedikit referensi yaitu https://www.facebook.com/notes/sosro-wardoyo/grading-up-persilangan-balik-kambing-boer/162933679299 dan https://www.facebook.com/notes/sosro-wardoyo/exspose-dasar-penentuan-standarisasi-kambing-saburai-lampung/10151443865929300
Acara ini diselenggarakan oleh Dinas Peternakan & Kesehatan Hewan Kabupaten Tanggamus-Lampung. Out put dari acara ini adalah memotivasi peternak kecil binaan dalam rangka mendukung produk unggulan Kabupaten Tanggamus. Dalam kesempatan lomba ini yang di hadiri Bupati Tanggamus Hi.Bambang Kurniawan juga memberikan semanngat dan merencanakan bagaimana produk unggulan ini bisa meningkatkan kesejahteraan peternak kambing di lingkup Kabupaten Tanggamus. Kategori yang di perlombakan yaitu 1). Pejantan Sabuarai, 2). Induk Saburai, 3). Calon Pejantan, 4). Calon Induk dan 5). Sapi PO jantan.
Foto 1 Bupati Tanggamus Hi. Bambang Kurniawan & Manajer Koperasi MDIT berpose bersama pejantan boer murni bernama BoPuspa (MendhoFarm) yang sudah berusia 7 tahun. |
Partisipasi Koperasi Peternak Motivasi Do'a Ikhtiar Tawakkal (MDIT) ikut serta sebagai peserta dan menampilkan stand mini satu satunya sebagai stakeholder mitra Pemkab Tanggamus. Stand di tampilkan yaitu kambing boer murni, kambing saburau (boerawa), kandang besimulti fungsi sebagai angkutan dan kandang lomba atau pameran, pakan fermentasi "Mengubah Limbang Menjadi Daging", buku-buku berternak dari pengalaman pemberdayaan peternak kambing, obat ternak paket kecil, dan juga melakukan tindakan berbagi pengobatan gratis, perkawinan alami dengan pejantan boer murni bernama BoPuspa (Foto 1). Dalam kesempatan ini terjadi diskusi dengan bupati Tanggamus bahwa bagaimana meningkatkan produksi unggulan ini dan memberi dampak pada peningkatan kesejahteraan peternak yang memberikan solusi yaitu bahwa Pemda Tanggamus harus membeli semen beku dari BIB Singosari dan membuat UPT produksi boer dan jika memungkinkan memproduksi semen boer berkwalitas sendiri.
Pejantan unggul sabuarai dengan penampilan superior di raih oleh peternak dari Pekon Batu Keramat dengan warnaputih polos dan bobot mencapai 127 kg seperti dalam gambar berikut.
Jadikan Beternak Itu Menyenangkan
Kamis, 11 September 2014
22.31
No comments
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
115
KAMBING ‘BOERKA’: KAMBING TIPE PEDAGING HASIL
PERSILANGAN BOER X KACANG
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA
Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Sei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara
(Makalah diterima 9 Mei 2008 – Revisi 24 September 2008)
ABSTRAK
Perkembangan bangsa kambing di dunia mengarah kepada tiga produk utama yaitu daging, susu dan bulu (mohair). Di
Indonesia, daging kambing dihasilkan terutama oleh jenis kambing Kacang yang berukuran tubuh kecil dengan laju pertumbuhan
lambat, namun prolifik. Pembentukan bangsa kambing tipe pedaging memiliki arti penting karena 1) konsumsi daging kambing
nasional dapat lebih dipacu dengan mempromosikan karakteristik daging kambing yang memiliki keunggulan dibandingkan
dengan daging asal ternak ruminansia lain dilihat dari aspek kesehatan, dan 2) pemanfaatan pasar ekspor masih sangat rendah
dibandingkan dengan potensi yang ada, dan hal ini dapat ditingkatkan apabila tersedia bibit kambing dengan kapasitas bobot
hidup dan laju pertumbuhan yang tinggi. Kambing Boerka sebagai hasil persilangan kambing Boer dengan kambing Kacang
memiliki sifat sebagai kambing pedaging yang baik. Bobot hidup (lahir, sapih, umur 6, 9, 12, 18 bulan dan dewasa) rata-rata
lebih tinggi 33 – 48% dibandingkan dengan Kacang. Laju pertumbuhan prasapih dan pascasapih lebih tinggi rata-rata 39 dan 46%
dibandingkan dengan Kacang. Selang beranak dengan manajemen yang baik mencapai 233 hari, sehingga dapat melahirkan
sebanyak tiga kali dalam waktu dua tahun, seperti halnya kambing Kacang. Karakteristik karkas Boerka, seperti proporsi karkas,
panjang karkas dan lebar karkas lebih baik dibandingkan dengan kambing Kacang. pH dan kandungan protein karkas sebanding
antara Boerka dengan Kacang, sedangkan kandungan lemak lebih rendah pada kambing Boerka. Upaya pengembangan kambing
Boerka kepada masyarakat pengguna membutuhkan adanya suatu sistem yang tepat agar ketersediaan bibit baik dalam hal
jumlah maupun kualitasnya lebih terjamin. Prinsip skema pengembangan berbasis inti (nucleus-based breeding) dapat diadopsi
dan implementasinya dapat dimodifikasi, sehingga beberapa skema pengembangan sesuai dengan kondisi spesifik Indonesia
dapat dirancang sebagai alternatif pilihan.
Kata kunci: Kambing, pedaging, persilangan, pengembangan
ABSTRACT
BOERKA GOAT: A MEAT TYPE GOAT OF BOER X KACANG CROSSBRED
The world goat population has for three main types, namely meat goats, dairy goats and fiber goats. In Indonesia, goat meat
is produced mainly the Kacang goat, a small-size type with low growth rate, but prolific. The development of new goat breed
with larger mature weight and greater growth rate is important to promote and increase the goat meat production and
consumption as well. The acceleration of meat goat production in Indonesia need to be stimulated due to the large potential of the
international market. The healthy goat meat due to its higher polyunsaturated to saturated fatty acid ratio compared to those of
beef or lambs should be more promoted to encourage the consumption rate. The Boerka goat which has been developed by
mating the male Boer goat to Kacang does has good characteristics of meat goat type. The average birth weight, weaning weight,
weight at 6, 9, 12, 18 months old, and mature weight of Boerka goats are greater 33 – 48% compared to those of Kacang goat.
The average pre-weaning (0 – 90 days) and post-weaning growth rate (3 – 12 months) of Boerka in average are 39 and 46%,
respectively higher than those of Kacang goats. Under intensive management system, the kidding interval is 233 days, equal to
that of Kacang goat. Carcass characteristics such as carcass weight and length are greater in Boerka compared to Kacang goat.
The pH and protein content of carcass are comparable, while the fat content is lower in Boerka carcass. It is important to design
proper schemes for the dissemination of this Boerka goats to stakeholders. These schemes should be able to provide the Boerka
goats in a sustainable pattern, so that the production, supply and quality of this crossbred goat could be maintained continuously.
Several alternative schemes based on the nucleus-based breeding principles are proposed and discussed.
Key words: Goat, meat type, crossbreeding, development
PENDAHULUAN
Perkembangan bangsa kambing di dunia
mengarah kepada tiga produk utama yaitu daging, susu
dan bulu (mohair). Oleh karena kemampuan
adaptasinya yang sangat baik terhadap berbagai
keragaman klimat, maka terdapat beberapa bangsa
kambing yang menyebar di berbagai zona agroekosistem.
Diperkirakan ada sebanyak 102 bangsa
kambing yang menyebar di seluruh dunia dengan bobot
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
116
hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara
9 – 13 kg sampai terbesar melebihi 100 kg (DHANDA et
al., 2003a). Di Indonesia paling tidak dilaporkan
terdapat 13 jenis kambing baik asli maupun introduksi
yang menyebar hampir di seluruh kepulauan, dengan
sentra populasi utama adalah Jawa (57%), Sumatera
(25%), Sulawesi (7,4%) dan kepulauan Nusa Tenggara
(NTT dan NTB) (6,1%) (MAKKA, 2004).
Dari total populasi kambing sekitar 14 juta ekor
(DITJENNAK, 2007), kambing Kacang merupakan jenis
kambing dengan populasi terbanyak (83%). Jenis
kambing ini memiliki bobot hidup dan kapasitas
tumbuh yang rendah, dan lebih merupakan jenis
kambing dengan tipe prolifik (ASTUTI et al., 1984).
Sementara itu, kambing PE dengan proporsi populasi
sekitar 9,0% lebih dikenal dengan tipe dwiguna yaitu
penghasil susu maupun daging, walaupun memiliki
persentase karkas yang relatif rendah (46%). Dengan
demikian, ras kambing dengan populasi terbesar yang
terdapat di Indonesia pada dasarnya bukanlah
merupakan bangsa kambing yang memiliki karakter
ideal sebagai penghasil daging, jika dilihat dari aspek
kapasitas laju tumbuh, ukuran serta konformasi bobot
hidup, serta persentase karkas. Walaupun demikian,
kambing Kacang memiliki ukuran tubuh yang optimal
untuk kebutuhan pasar domestik.
Untuk lebih mendorong usaha produksi kambing
nasional, maka selain potensi pasar domestik yang
cenderung meningkat seiring dengan pertambahan
penduduk, potensi pasar ekspor yang sangat prospektif,
seperti Malaysia dan Brunei Darussalam (MAKKA,
2004) perlu dimanfaatkan secara maksimal. Dalam
konteks ini, ketersediaan bibit kambing dalam jumlah
memadai, berkesinambungan dan memiliki kualitas
teknis yang sesuai dengan persyaratan pasar menjadi
prasyarat yang sangat vital. Loka Penelitian Kambing
Potong telah mengembangkan program pembentukan
kambing unggul melalui pendekatan perkawinan silang
(cross breeding) antara pejantan kambing Boer dengan
induk kambing Kacang. Hasil silangan kedua ras
kambing tersebut adalah kambing ’Boerka’ yang
memiliki potensi sebagai jenis kambing tipe pedaging
yang relatif baik dan memiliki potensi sebagai bibit
kambing unggulan di waktu mendatang.
Tulisan ini mengemukakan arti penting
pembentukan jenis kambing pedaging di Indonesia
serta memaparkan dan membahas performans kambing
Boerka sebagai tipe kambing pedaging. Untuk
menjamin perkembangan dan penyebaran (diseminasi)
kambing Boerka secara sistematis kepada masyarakat
pengguna, berbagai konsep dan alternatif pola
pengembangannya dipaparkan.
MANFAAT DAN PELUANG PEMBENTUKAN
KAMBING TIPE PEDAGING
Tingkat konsumsi daging kambing termasuk
domba secara nasional baru berkisar antara 5 – 6% dari
total konsumsi daging, dan dibutuhkan sekitar 5,6 juta
ekor kambing per tahun untuk memenuhi kebutuhan
tersebut (MAKKA, 2004). Tingkat konsumsi ini relatif
rendah, namun memiliki peluang untuk lebih
ditingkatkan lagi. Faktor kualitas daging kambing,
terutama dalam kaitannya dengan isu kesehatan
maupun gizi yang sebenarnya memiliki keunggulan
komparatif dibandingkan dengan daging asal ternak
lain, selama ini belum banyak disosialisasikan kepada
masyarakat. Keunggulan kualitas daging kambing ini
seharusnya dapat menjadi salah satu faktor pendorong
penting bagi peningkatan konsumsi daging kambing
nasional. Potensi daging kambing dalam mensubstitusi
konsumsi daging sapi juga layak dipertimbangkan
sebagai salah satu strategi dalam upaya mengurangi
tekanan terhadap permintaan daging sapi yang saat ini
belum dapat sepenuhnya dipenuhi dari produksi dalam
negeri. Disamping itu, besarnya potensi pasar ekspor
yang selama ini baru dimanfaatkan secara minimalis
tetap menjadi faktor pendorong potensial bagi
pengembangan kambing pedaging di Indonesia.
Karakteristik kimiawi daging kambing
Mengkonsumsi daging kambing sering dianggap
secara awam lebih beresiko sebagai penyebab
timbulnya gangguan kesehatan dibandingkan dengan
daging dari jenis hewan lain. Hal ini sebenarnya
kontradiktif dengan hasil-hasil penelitian yang
mengungkapkan dengan jelas bahwa daging kambing
memiliki beberapa kelebihan bila dilihat dari aspek
kesehatan, dibandingkan dengan daging asal ternak
ruminansia lain. Kandungan protein daging kambing
relatif sebanding dengan daging domba maupun sapi,
sedangkan kandungan lemak lebih rendah dibandingkan
dengan daging sapi, dan setara dengan daging domba
(Tabel 1). Kandungan abu pada daging kambing
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daging
domba ataupun sapi.
Profil asam lemak pada karkas, terutama rasio
asam lemak tidak jenuh terhadap asam lemak jenuh
(saturated fatty acids; SFA) dapat digunakan sebagai
indikator kualitas karkas karena terkait dengan
kandungan kolesterol darah. Asam lemak tidak jenuh,
terutama dari kelompok yang memiliki lebih dari satu
ikatan ganda (polyunsaturated fatty acids; PUFA)
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
117
Tabel 1. Komposisi kimiawi daging beberapa jenis ternak ruminansia (%, as is)
Ternak Air Protein Abu Lemak PUFA : SFA* Pustaka
Kambing 68 – 73 19 – 23 1,0 – 1,7 3,5 – 4,9 0,33 – 0,97 LEE et al. (2008); DHANDA et al. (2003c);
BANSKALIEVA et al. (2000)
Domba 69 23,3 1,17 4,5 0,11 – 0,18 LEE et al. (2008); DHANDA et al. (2003a);
MALAN (2000)
Sapi 62 – 72 25,9 1,06 12,2 – 18,6 0,15 – 0,29 LEE et al. (2008); DHANDA et al. (2003c);
MALAN (2000); LI et al. (2006)
*PUFA : polyunsaturated fatty acids
*SFA : saturated fatty acids
diketahui memiliki peran dalam menurunkan kadar
kolesterol darah. BANSKALIEVA et al. (2000) dan
DHANDA et al. (2003a) menyimpulkan bahwa rasio
lemak tidak jenuh terhadap lemak jenuh pada daging
kambing adalah rata-rata sebesar 0,33, sementara pada
daging sapi dan domba jauh lebih rendah yaitu
berturut-turut antara 0,11 – 0,18 dan 0,15 – 0,29.
Penelitian DHANDA et al. (2003c) tentang profil asam
lemak jaringan adiposa intermuskuler pada kambing
silangan Boer dengan beberapa bangsa kambing
menunjukkan rasio yang lebih tinggi yaitu antara 0,6 –
0,84. Bahkan, rasio tersebut mencapai 0,97 bila
pemotongan dilakukan pada kambing dengan umur
lebih tua. Berbagai faktor seperti pakan, bangsa, jenis
kelamin serta umur maupun anatomi tubuh
mempengaruhi komposisi asam lemak (BANSKALIEVA
et al., 2000).
Dalam kondisi yang identik (umur dan pakan),
LEE et al. (2008) mendukung hasil penelitian
sebelumnya bahwa rasio asam lemak tidak jenuh
terhadap asam lemak jenuh lebih tinggi pada kambing
dibandingkan dengan domba. CHOI et al. (2008) juga
melaporkan hasil penelitian yang serupa bahwa daging
kambing lokal Korea (Korean Black Goat)
mengandung asam lemak tidak jenuh lebih tinggi
dibandingkan dengan daging sapi, dan juga
mengandung conjugated linoleic acid (CLA) dalam
kadar yang lebih tinggi. CLA diketahui dapat
menurunkan kadar kolesterol darah dan memiliki
aktivitas antikarsinogenik (CHEEKE, 2004; CHOI et al.,
2008). Rasio asam lemak tidak jenuh yang relatif tinggi
terhadap asam lemak jenuh pada daging kambing
mengindikasikan bahwa daging kambing relatif lebih
menyehatkan terutama terkait dengan penyakit
kardiovaskuler (HARRINGTON, 1994). Oleh karena
konsentrasi kolesterol dalam plasma dipengaruhi oleh
komposisi asam lemak yang dikonsumsi, maka fakta
ilmiah ini sebenarnya merupakan promosi untuk
meningkatkan konsumsi daging kambing kepada
masyarakat.
Kambing pedaging sebagai komoditas ekspor
Pengusahaan ternak kambing di Indonesia yang
sebagian besar dilakukan secara tradisional/sambilan
ditujukan terutama bagi pemenuhan kebutuhan daging
di dalam negeri. Ternak kambing juga memiliki potensi
sebagai komoditas ekspor untuk memenuhi permintaan
pasar di beberapa negara, seperti Malaysia dan Brunei
Darussalam (200 ribu ekor/tahun), maupun Arab Saudi
(2,5 juta ekor per tahun) (MAKKA, 2004). Ekspor
kambing dari Indonesia ke Malaysia telah berlangsung
dalam jumlah terbatas, dan belum mampu memenuhi
kebutuhan negara tersebut. Dilaporkan bahwa pada
2006 telah diekspor kambing bakalan sebanyak 6.228
ekor dan sebanyak 585 ekor kambing bibit ke Malaysia
(DITJENNAK, 2007). Jumlah ini masih jauh di bawah
potensi pasar yang ada.
Potensi pasar ekspor diperkirakan masih akan
terus berlangsung karena kapasitas produksi kambing
dalam negeri Malaysia saat ini baru mencapai 9,0%
dari kebutuhan domestiknya (BABA, 2008). Mengingat
bahwa kegiatan ekspor kambing dapat menghasilkan
devisa dan mampu menggairahkan usaha produksi
kambing dan perekonomian di pedesaan, maka salah
satu pendekatatan strategis yang dapat dilakukan untuk
memaksimalkan pemanfaatan pasar tersebut adalah
menghasilkan jenis kambing lokal yang memiliki sifat
penghasil daging yang lebih tinggi, sehingga lebih
memenuhi kriteria pasar ekspor.
PEMBENTUKAN KAMBING BOERKA
Silang bangsa (crossbreeding) antara dua atau
lebih bangsa pada ternak ruminansia merupakan salah
satu cara yang baik untuk meningkatkan produktivitas.
Pemilihan bangsa atau ras yang memiliki sifat unggul
tertentu dalam program persilangan sangat penting.
Telah diketahui bahwa ras kambing di daerah tropis,
termasuk kambing Kacang umumnya memiliki
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
118
keunggulan terutama dalam hal kesuburan (fertilitas)
dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Bobot lahir
serta laju pertumbuhan pada suatu ras kambing
tergantung kepada potensi bobotnya saat mencapai
kedewasaan (maturity), sehingga tingkat pertumbuhan
anak pada ras kambing dengan tipe besar akan lebih
tinggi dibandingkan pada ras kambing tipe kecil
(DHANDA, 2003a). Introduksi ras eksotik yang berasal
dari daerah tropis dalam program persilangan dengan
kambing Kacang diharapkan dapat menghasilkan
kambing silangan dengan kapasitas produksi yang lebih
tinggi. Pada domba misalnya, pendekatan ini telah
menghasilkan domba Sei Putih dengan peningkatan
produktivitas (berat anak sapih/induk/tahun) sebesar 30
– 50% (BRADFORD et al., 1996). Peningkatan ini
terutama disebabkan oleh meningkatnya bobot lahir
dan bobot sapih anak, sedangkan laju reproduktivitas
pada dasarnya sebanding.
Bangsa kambing Boer merupakan salah satu jenis
kambing dengan potensi pertumbuhan dan bobot hidup
yang tinggi dan memiliki sifat fertilitas yang baik
(GREYLING, 2000). Dengan sifat unggul tersebut, maka
kambing Boer telah banyak digunakan dalam program
persilangan di banyak negara, termasuk Indonesia
untuk menghasilkan kambing silangan Boerka
(Gambar 1).
Gambar 1. Kambing Boer, Kacang dan Boerka
kambing Boerka
kambing Boer kambing Kacang
X
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
119
Kambing Boer dalam program persilangan
Kambing Boer telah dikenal luas dalam hal
keunggulannya menghasilkan daging baik dari sisi
jumlah maupun karakteristik kimiawinya. Kapasitas
bobot hidup dan laju pertumbuhan kambing Boer
menunjukkan potensi tersebut. Bobot hidup pejantan
Boer dewasa yang terseleksi dengan baik (improved
Boer) dapat mencapai antara 100 – 120 kg dan berat
sapih umur 120 hari dapat mencapai 29 kg (MALAN,
2000). ERASMUS (2000) melaporkan bobot lahir
kambing Boer mencapai 3,9 – 4,0 kg dan pada umur
100 hari pejantan Boer setelah dikoreksi terhadap tipe
kelahiran rata-rata mencapai 25,3 kg, sedangkan ratarata
laju pertambahan bobot badan harian berkisar
antara 203 – 245 g.
Oleh karena kapasitas performans yang sedemikian
tinggi ini, maka jenis kambing Boer telah digunakan
dalam program persilangan untuk perbaikan atau
peningkatan genetik kambing lokal di banyak negara
seperti, Filipina (ALO, 2008), Vietnam (VAN BINH,
2008), Amerika Serikat (LUO et al., 2000; CAMERON et
al., 2001), Australia (DHANDA et al., 2003a; b), dan
Indonesia (SETIADI et al., 2001; DAKHLAN dan
SULASTRI, 2006).
Selain memiliki kapasitas bobot hidup besar,
kambing Boer memiliki kemampuan untuk beradaptasi
dengan baik pada berbagai kondisi klimat, sistem
produksi dan tipe pastura (ERASMUS, 2000). Namun
demikian, adanya interaksi genotipa x lingkungan
sangat mungkin terjadi apabila kambing Boer
dikembangkan di luar ekosistem aslinya. BLACKBURN
(1995) yang melakukan analisis terhadap model untuk
mensimulasi beberapa fungsi biologis seperti
pertumbuhan, laktasi, reproduksi dan konsumsi pakan
pada kambing Boer dan kambing Spanish
mengindikasikan bahwa performans kambing Boer
tidak maksimal jika dipelihara dengan pola manajemen
ekstensif. Penggunaan kambing Boer akan menjadi
efektif apabila didukung oleh input yang memadai
terutama dalam penyediaan pakan baik hijauan maupun
suplemen. Kesimpulan ini didukung oleh hasil
penelitian GEBRELUL dan IHEANACHO (1997) yang
menunjukkan bahwa pada kondisi manajemen ekstensif
kambing persilangan Boer x Alpine, Boer x Spanish
dan Boer x Tennessee ternyata memiliki bobot hidup
lebih besar dibandingkan dengan Boer murni pada
umur 4, 8 dan 12 minggu.
Persilangan kambing Boer dengan Kacang
Program pembentukan kambing silangan Boer
dengan Kacang adalah untuk mendapatkan kambing
Boerka dengan komposisi 50% Boer dan 50% Kacang.
Dari pengalaman membentuk domba Sei Putih,
BRADFORD et al. (1996) menyimpulkan bahwa
komposisi 50 : 50 untuk ras lokal dan ras eksotik
merupakan kombinasi yang cukup optimal. Mengambil
pelajaran dari pembentukan domba Sei Putih, maka
dikembangkan program pembentukan kambing Boerka.
Skema program pembentukan kambing Boerka
ditampilkan pada Gambar 2. Kambing Boerka (50B;
50K) yang dihasilkan dari perkawinan pejantan Boer
dengan induk Kacang (F1) selanjutnya diseleksi.
Kriteria seleksi adalah bobot lahir, bobot sapih dan
bobot pada umur 8 – 10 bulan. Intensitas seleksi
berkisar antara 80 – 85% untuk pejantan dan 60 – 65%
untuk induk (BRADFORD et al., 1996).
Pembentukan kambing Boerka selanjutnya
dilakukan melalui perkawinan sesama Boerka (interse
mating). Pejantan maupun betina Boerka yang
dikawinkan adalah kelompok yang telah lolos seleksi
pada tahap pra dan lepas sapih. Walaupun demikian, ke
depan tidak tertutup kemungkinan untuk meningkatkan
atau menurunkan persentase darah Boer dalam
pembentukan kambing Boerka yang lebih efisien sesuai
dengan kondisi agroekosistem dimana kambing Boerka
akan dikembangkan.
Boer
♂ ♂ ♂ ♂ ♂
Boerka Boerka Boerka Boerka Boerka
♀ ♀ ♀ ♀ ♀
Kacang
Seleksi Seleksi Seleksi Seleksi Seleksi
Gambar 2. Skema program persilangan kambing Boer x Kacang untuk membentuk kambing Boerka
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
120
PERFORMANS KAMBING BOERKA
Keragaan bobot hidup dan pertumbuhan
Besaran bobot lahir suatu ras kambing sangat
ditentukan oleh konformasi serta besaran ukuran tubuh
tetuanya (MORAND-FEHR, 1981). Adanya pengaruh
heterosis seperti yang diharapkan dari persilangan Boer
x Kacang mengakibatkan bobot lahir anak kambing
Boerka lebih tinggi dibandingkan dengan kambing
Kacang (Tabel 2). Keunggulan bobot lahir kambing
Boerka secara rata-rata sebesar 42% dibandingkan
dengan kambing Kacang dan bobot lahir jenis kelamin
jantan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
jenis kelamin betina. Bobot lahir terkait erat dengan
daya hidup dan bobot hidup pada saat disapih, sehingga
bobot lahir menjadi karakter yang menentukan dalam
pencapaian tingkat efisiensi produksi.
Bobot hidup kambing Boerka secara konsisten
lebih tinggi dibandingkan dengan kambing Kacang
pada berbagai umur. Pada saat umur 3 bulan (sapih), 6,
9, 12 dan 18 bulan serta bobot dewasa (> 18 bulan)
bobot hidup kambing Boerka jantan rata-rata lebih
tinggi 36 – 45% dan pada kambing Boerka betina ratarata
lebih tinggi 26 – 40% dibandingkan dengan
kambing Kacang. Pada umur 12 atau 18 bulan kambing
Boerka jantan telah mampu mencapai bobot hidup
antara 26 – 36 kg dan sesuai persyaratan pasar ekspor.
Dengan demikian, kambing Boerka merupakan ras
kambing yang memiliki potensi untuk dikembangkan
secara komersial dalam mendukung pemasaran ternak
kambing untuk tujuan ekspor di waktu mendatang.
Laju pertumbuhan kambing Boerka masa prasapih
menurut tipe kelahiran maupun jenis kelamin
ditampilkan pada Tabel 3. Data tersebut menunjukkan
bahwa tipe kelahiran dan jenis kelamin mempengaruhi
laju pertumbuhan anak. Sesuai dengan sifat jenis
kelamin, maka laju pertumbuhan jantan lebih tinggi
dibandingkan dengan betina, dan laju pertumbuhan
anak dengan tipe kelahiran tunggal lebih tinggi
dibandingkan pada kelahiran kembar. Rataan umum
menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan anak
kambing Boerka masa prasapih sebesar 118 g/hari, jauh
lebih tinggi dibandingkan pada kambing Kacang
sebesar 52 – 70 g/hari.
Relatif tingginya laju pertumbuhan masa prasapih
tersebut terkait dengan tingginya bobot lahir pada
kambing Boerka. Faktor bobot lahir serta laju
pertumbuhan prasapih merupakan variabel yang
menentukan tingginya bobot sapih pada Boerka
dibandingkan dengan Kacang. Seperti halnya bobot
lahir, maka laju pertumbuhan anak sangat ditentukan
oleh kapasitas ukuran tubuh dewasa baik pejantan
maupun induk (MCGREGOR, 1985). Dengan demikian,
laju pertumbuhan pada ras kambing tipe besar
umumnya akan lebih tinggi dibandingkan pada ras tipe
kecil. Penggunaan pejantan Boer yang merupakan ras
kambing tipe besar merupakan kontributor utama
terhadap tingginya laju pertumbuhan kambing Boerka.
Laju pertumbuhan periode pascasapih, walaupun
dengan status nutrisi yang maksimal akan mengalami
perlambatan jika dibandingkan dengan pertumbuhan
selama masa prasapih (DHANDA et al., 2003a).
Perlambatan laju pertumbuhan pascasapih dilaporkan
lebih tajam pada anak yang disapih pada umur yang
lebih muda, dan anak jantan lebih sensitif terhadap
sapih dini dibandingkan dengan anak jenis kelamin
betina (MORAND-FEHR, 1981).
Tabel 2. Bobot hidup kambing Boerka dan Kacang pada berbagai umur
Bobot hidup (kg)
Umur Jantan Betina
Boerka Kacang Boerka Kacang
Pustaka
Lahir 2,2 – 2,8 1,5 – 2,0 2,0 – 2,6 1,4 – 1,7 ROMJALI et al. (2002); DOLOKSARIBU et al. (2005);
ASTUTI et al. (1984)
3 bulan 9 – 15 6,7 – 8,7 8 – 12 6,4 – 7,8 DOLOKSARIBU et al. (2005); ASTUTI et al. (1984);
PRIYANTO et al. (2002); KNIPSCHEER et al. (1983)
6 bulan 16 – 22 12 – 16 14 – 18 11 – 14 SETIADI et al. (2001); GATENBY (1988); SITORUS et al.
(1995)
9 bulan 21 – 24 14 – 17 15 – 19 13 – 15 PRIYANTO et al. (2002); SETIADI et al. (2001);
GATENBY (1988); MARTAWIDJAJA (1999)
12 bulan 26 – 32 14,7 – 20 18 – 26 14,7 – 18 ASTUTI et al. (1984); PRIYANTO et al. (2002); SETIADI
et al. (2001); GATENBY (1988)
18 bulan 28 – 36 20 – 24 20 – 28 16 – 21 GATENBY (1988); DEVENDRA dan BURNS (1983)
>18 bulan 38 – 50 22 – 30 28 – 38 18 – 24 GATENBY (1988); DEVENDRA dan BURNS (1983);
PAMUNGKAS et al. (2005)
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
121
Tabel 3. Pertambahan bobot hidup harian (PBHH) anak
kambing Boerka dan Kacang berdasarkan tipe
kelahiran dan jenis kelamin periode prasapih
PBHH (g)
Uraian
Boerka1 Kacang
Tipe kelahiran
Tunggal 115 – 141 1032
Kembar-2 93 – 101 54 – 632
Jenis kelamin
Jantan 106 – 126 52 – 703,4
Betina 77 – 112 52 – 553,4
Tipe kelahiran/jenis kelamin
Tunggal/jantan 129 – 148 86 – 925
Tunggal/betina 88 – 136
Kembar-2/jantan 102 – 108 54 – 735
Kembar-2/betina 75 – 96
Sumber: 1SETIADI et al. (2001); 2SITORUS dan KUSWANDI
(1994); 3DOLOKSARIBU et al. (2005); 4ASTUTI et al.
(1984); 5MARTAWIDJAJA et al. (1999)
Fenomena tersebut terlihat pada kambing Boerka
yaitu terjadinya perlambatan laju pertumbuhan seiring
dengan bertambahnya umur (Tabel 4). Laju
pertumbuhan kambing Boerka selama pascasapih
masih tergolong tinggi dibandingkan dengan kambing
Kacang. Pada umur antara 3 sampai dengan 6 bulan,
misalnya laju pertumbuhan kambing Boerka lebih
tinggi rata-rata 42% dibandingkan dengan kambing
Kacang. Laju pertumbuhan yang lebih tinggi
memungkinkan kambing Boerka mencapai bobot
potong pada umur yang lebih muda. Laju pertumbuhan
kambing Boerka tersebut relatif sebanding dengan laju
pertumbuhan kambing silangan Boer x East Africa
(BARRY dan GODKE, 1991).
Tabel 4. Pertambahan bobot hidup harian (PBHH) kambing
Boerka dan Kacang pada berbagai periode umur
pascasapih
PBHH (g)
Umur
Boerka Kacang
>3 – 6 bulan 70 – 981,2 42 – 693,4
>6 – 9 bulan 64 – 861 575
>9 – 12 bulan 52 – 671 385
Sumber: 1)SETIADI et al. (2001); 2BATUBARA et al. (2005);
3JOHNSON dan DJAJANEGARA (1989); 4KRISNAN dan
GINTING (2005); 5GATENBY (1988)
Bangsa kambing East Africa tergolong jenis
kambing tipe kecil seperti halnya kambing Kacang.
Namun, bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan
pada kambing silangan Boer x Spanish sebesar 76 –
100 g/hari (PRIETO et al., 2000) maupun Boer x Angora
sebesar 161 g/hari (CAMERON et al., 1999) umur 4 – 8
bulan, maka laju pertumbuhan silangan Boer x Kacang
relatif lebih rendah. Hal ini terkait dengan kapasitas
bobot hidup kambing Spanish maupun Angora yang
lebih besar dibandingkan dengan kambing Kacang.
Keragaan karkas
Karakteristik dan mutu karkas kambing
persilangan Boer x Kacang (50 Boer; 50 Kacang) telah
dianalisis secara ekstensif oleh TRIYANTINI et al.
(2002). Beberapa aspek karakteristik karkas yang
dievaluasi antara lain proporsi potongan karkas, sifat
fisik maupun kimiawi karkas. Beberapa karakteristik
karkas tersebut ditampilkan pada Tabel 5. Karakteristik
komponen karkas kambing Boerka relatif lebih baik
dibandingkan dengan kambing Kacang, sedangkan
kandungan nutrisi maupun sifat fisik daging relatif
sama antara kedua ras.
Tabel 5. Komparatif karakteristik karkas kambing Boerka
(50B; 50K; F1) jantan umur > 1 tahun terhadap
kambing Kacang
Karakteristik karkas Boerka1 Kacang2
Proporsi karkas, % 46,0 44,02
Panjang karkas, cm 76-77 54 – 591
Lebar karkas, cm 34 - 35 30 – 311
Lingkar paha belakang, cm 30 - 31 26 – 291
Lingkar paha depan, cm 17 - 19 20 – 211
pH 5,4 – 5,8 5,4 – 5,71,2
Kadar protein,% 19 – 22 20 – 211
Kadar lemak, % 0,15 – 0,50 1,2 – 3,52
Kadar air,% 74-78 72 – 781,2
Susut masak, % 29-48 29 – 361
Keempukan, kg/detik
Mentah 27 – 41 23 – 331,2
Matang 20 – 30 17 – 301
Sumber: 1TRIYANTINI et al. (2002); 2SUNARLIM dan
SETIYANTO (2005)
Mutu karkas kambing Boerka dilaporkan
tergolong ke dalam kategori Mutu I dan serupa dengan
kambing Kacang yaitu dengan karakteristik ciri
penampakan agak lembab, tekstur lembut dan kompak,
warna merah khas daging, lemak panggul tebal dan bau
spesifik. Karakteristik mutu tersebut mengindikasikan
bahwa daging kambing Boerka akan dapat diterima
oleh konsumen seperti halnya dengan kambing
Kacang. Persentase karkas terhadap bobot hidup pada
kambing Boerka dalam penelitian ini sebanding dengan
kambing persilangan Boer x Spanish (46,3%) namun
relatif lebih rendah dibandingkan pada Boer x Angora
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
122
(47,0%) (CAMERON et al., 2001). pH daging kambing
Boerka berkisar antara 5,4 – 5,8; sebanding dengan pH
daging kambing Kacang dan berada pada rentang nilai
normal untuk daging konsumsi (HENDRICK et al.,
1994). Pada silangan kambing Boer dengan beberapa
bangsa kambing seperti Angora, Feral dan Saanen,
DHANDA et al. (2003b) mendapatkan pH daging
berkisar antara 5,7 – 5,9.
PENYEBARAN KAMBING BOERKA
Pengembangan bibit kambing Boerka mencakup
dua fase yaitu proses pembentukan dan proses
penyebaran atau diseminasi kepada pengguna. Proses
pembentukan pada dasarnya secara teknis lebih mudah
dikendalikan, oleh karena dilakukan oleh suatu institusi
yang kompeten dengan pola yang standar. Fase yang
lebih krusial sebenarnya terletak pada bagaimana
membangun sistem yang dapat menjamin ketersediaan
dan penyebaran bibit secara berkelanjutan dengan tetap
menjaga kualitas sebagai ternak bibit. PEACOCK (2008)
memaparkan bahwa banyak program pengembangan
bibit kambing di negara berkembang, terutama di
Afrika maupun Asia (KOSGEY dan OKEYO, 2007) pada
masa lalu gagal, oleh karena tidak disertai dengan
sistem penyebaran yang berkelanjutan. Beberapa
program yang sukses dalam pengembangan bibit
kambing dan domba di beberapa negara berkembang
beriklim tropis dilaksanakan melalui skema
pengembangan berbasis inti (nucleus-based breeding
schemes) (KOSGEY et al., 2006). Pendekatan berbasis
inti tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk
memanfaatkan secara efektif populasi bibit kambing
atau domba dengan kelas unggul sebagai sumber bibit
(inti) untuk selanjutnya disebar kepada pengguna atau
peternak komersial. Skema ini dapat dikembangkan
menjadi berbagai varian skema dengan membangun
beberapa simpul (komponen), biasanya dua atau tiga
simpul, dan berdasarkan kebijakan migrasi ternak antar
setiap simpul yaitu dapat bersifat terbuka (open nucleus
scheme) maupun tertutup (closed nucleus scheme).
Keberhasilan skema tersebut sangat ditentukan oleh
efektivitas manajemen pada setiap simpul maupun
integritas keseluruhan simpul. Beberapa kasus
kegagalan dengan pendekatan skema ini terjadi di
beberapa negara akibat manajemen yang tidak efisien
(AHUYA et al., 2005).
Pendekatan skema inti tersebut dapat diadopsi
sebagai model pengembangan kambing Boerka di
Indonesia dengan menyesuaikannya kepada
karakteristik kondisi yang spesifik. Beberapa alternatif
pola pengembangan ditampilkan pada Gambar 3.
Model A
Model B
Model C
Gambar 3. Beberapa alternatif skema pengembangan kambing Boerka
INTI
(Komunitas peternak; APDKI)
KOMERSIAL
(Peternak)
INTI (BPTU)
MULTIPLIKATOR
(Komunitas peternak;
APDKI)
KOMERSIAL
(Peternak)
INTI
(Lembaga penelitian)
MULTIPLIKATOR
(Komunitas peternak;
APDKI)
MULTIPLIKATOR
(BPTU)
MULTIPLIKATOR
(Pemda)
KOMERSIAL
(Peternak)
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
123
Model A merupakan pengembangan dengan basis
komunitas peternak yang dapat berupa kelompok
ternak aktif ataupun asosiasi peternak, misalnya
Asosiasi Peternak Kambing dan Domba (APDKI).
Kelebihan model tersebut adalah bahwa tingkat
manajemen yang dilakukan di simpul inti biasanya
tidak berbeda jauh dengan di simpul komersial,
sehingga ternak yang disebar akan lebih sesuai dengan
kondisi peternak. Kelemahan utama model ini adalah
terbatasnya kemampuan untuk mengorganisir,
melaksanakan dan menganalisis data performans
maupun asal usul (pedigree) yang sangat diperlukan
dalam manajemen simpul inti. Selain itu, besar peluang
terjadinya penjualan ternak dengan kualitas baik untuk
alasan finansial, atau keperluan sosial-kultural dan
bukan untuk kepentingan pengembangan.
Model B merupakan skema pengembangan
dengan basis institusi pemerintah, dan dapat
mengandung dua simpul (inti dan komersial) atau tiga
simpul (inti, multiplikator dan komersial). Dalam
skema ini institusi pemerintah seperti Balai
Pengembangan Ternak Unggul (BPTU) dapat berfungsi
sebagai simpul inti, dan untuk memperluas wilayah
pelayanan dapat dibentuk simpul multiplikator yang
diperankan oleh komunitas peternak, seperti kelompok
peternak ataupun APDKI. Model ini memiliki
kelebihan bahwa simpul inti relatif memiliki dukungan
finansial, teknis maupun infrastruktur yang dibutuhkan
dalam pengembangan kambing Boerka. Kelemahan
model ini antara lain sifatnya yang cenderung
sentralistik, sehingga memiliki hambatan geografis dan
lambat dalam mengantisipasi permintaan simpul
komersial yang tersebar di berbagai wilayah yang luas.
Kelemahan lain adalah terbatasnya kemampuan simpul
inti untuk menganalisis secara akurat berbagai data
performans yang dibutuhkan dalam manajemen.
Model C merupakan skema pengembangan
dengan basis institusi pemerintah dengan menempatkan
lembaga penelitian sebagai simpul inti. Dalam
pelaksanaannya model ini dapat diimplementasikan
dengan memilih salah satu simpul multiplikator atau
sekaligus membentuk tiga simpul multiplikator. Simpul
multiplikator yang lebih banyak dalam jumlah maupun
lebih beragam dalam karakter akan memberi pengaruh
positif dalam program pengembangan secara
keseluruhan. Fungsi simpul inti yang diemban oleh
lembaga penelitian merupakan salah satu kelebihan
dalam model ini, karena kapasitas dalam mengelola
dan menganalisis data secara akurat relatif kuat.
Adanya simpul multiplikator yang diemban oleh
PEMDA, misalnya dengan pembentukan unit produksi
ternak bibit akan mengurangi kendala geografis,
sehingga mempercepat pengembangan ternak kepada
simpul komersial.
Beberapa faktor yang sering menjadi penghambat
dalam program perbaikan mutu genetik antara lain
adalah kurangnya catatan performans dan asal usul
(pedigree), kurang efektifnya atau tidak adanya
organisasi di tingkat peternak yang secara aktif
berpartisipasi di dalam program.
Identifikasi ternak selalu menjadi masalah dalam
catatan tampilan ternak, sehingga diperlukan penerapan
yang sistematis, sederhana dan mudah. Selain
kelengkapan data, maka kemampuan menganalisis dan
menggunakan data untuk proses seleksi memiliki arti
sangat penting dalam keseluruhan program. Data yang
lengkap misalnya sangat dibutuhkan di dalam
manajemen seperti manajemen jaminan mutu dan
perencanaan perkawinan (HOLST, 1999). Dalam hal ini
petani, organisasi petani, bahkan institusi pemerintah
yang memiliki fungsi pengembangan ternak unggul
sering tidak memiliki keahlian atau spesifikasi untuk
melakukannya secara akurat. Oleh karena itu, apabila
skema yang ingin dikembangkan dititikberatkan
kepada basis komunitas peternak, seperti APDKI atau
kelompok ternak, maka keterkaitan secara institusional
dengan lembaga penelitian atau akademik yang relavan
dibutuhkan, terutama untuk menganalisis data. Untuk
itu diperlukan jejaring kerja yang dapat memfasilitasi
hubungan antar kelompok tani maupun instansi
penunjang. Pengembangan kambing Boer di Afrika
Selatan merupakan salah satu contoh keberhasilan
menggunakan skema inti dengam pola tertutup yang di
dukung oleh institusi pemerintah dengan dukungan
finansial, teknik dan infrastruktur yang sangat baik
(KOSGEY dan OKEYO, 2007).
KESIMPULAN
Kontribusi ternak kambing sebagai penyumbang
daging secara nasional relatif masih rendah, namun
kontribusi ternak ini kedepan dapat lebih dipacu
mengingat bahwa daging kambing secara nutrisi dan
kesehatan memiliki kelebihan dibandingkan dengan
ternak ruminansia lain. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kambing Boerka memiliki kapasitas tumbuh dan
bobot hidup yang sangat baik dan lebih tinggi
dibandingkan dengan kambing Kacang. Kambing ini
dapat menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan
sebagai kambing pedaging di masa mendatang. Proses
pengembangan dan penyebaran kambing Boerka
kepada masyarakat pengguna membutuhkan sistem
yang dapat menjamin ketersediaan baik jumlah maupun
kualitasnya secara berkesinambungan. Untuk itu
tersedia beberapa alternatif skema yang dapat
dikembangkan sesuai dengan kondisi wilayah yang
spesifik di Indonesia.
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
124
DAFTAR PUSTAKA
AHUYA, C.O., A.M. OKEYO, MWANGI-NJURU and C.
PEACOCK. 2005. Development challenge and
opportunities in the goat industry: The Kenya
experience. Small Rumin. Res. 60: 197 – 206.
ALO, A.M.P. 2008. Trends in goat production in the
Philippines. Paper presented at the International
Seminar on Dairy and Meat Goat Production. Bogor,
August 5 – 6th, 2008. Indonesian Research Institute
for Animal Production, Food and Fertilizer
Technology Center-ASPAC, Taiwan Livestock
Research Institute. 26 p.
ASTUTI, M., M. BELL, P. SITORUS and G.E. BRADFORD. 1984.
The impact of altitude on sheep and goat production.
Working paper No. 30. SR-CRSP/Balitnak, Bogor.
BABA, A.R. 2008. Breeding and reproduction of goat in
Malaysia. Paper presented at the International
Seminar on Dairy and Meat Goat Production. Bogor,
August 5 – 6th, 2008. Indonesian Research Institute
for Animal Production, Food and Fertilizer
Technology Center-ASPAC, Taiwan Livestock
Research Institute. 12 p.
BANSKALIEVA, T. SAHLU and A.L. GOETSCH. 2000. Fatty acid
composition of goat muscle and fat deposit: A review.
Small Rum. Res. 37: 255 – 268.
BARRY, D.D. and R.A. GODKE. 1991. The Boer goat: The
potential for crossbreeding. National Symposium on
Goat Meat Production and Marketing. Langston
University, Langston, OK, US. pp. 180 – 189.
BATUBARA, J.P., R. KRISNAN, S.P. GINTING dan J. SIANIPAR.
2005. Penggunaan bungkil inti sawit dan Lumpur
sawit sebagai pakan tambahan untuk kambing. Pros.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 611 – 616.
BLACKBURN, H.D. 1995. Comparison of performance of Boer
and Spanish Goats in two U.S. locations. J. Anim.
Sci. 73: 302 – 309.
BRADFORD, G.E., SUBANDRIYO, M. DOLOKSARIBU and R.M.
GATENBY. 1996. Breeding strategies for low input
system. Proc. Small Ruminant Production:
Recommendation for Southeast Asia. Parapat, North
Sumatera, May 12 – 15th, 1996. Small Ruminant-
Collaborative Research Support Program, Agency for
Agricultural Research and Development. pp. 55 – 62.
CAMERON, M.R., J. LUO, T. SAHLU, S. HART and S. COLEMAN.
1999. Postweaning growth performance in Spanish,
Boer x Spanish, and Boer x Angora goat kids. J.
Anim. Sci. 77 (Suppl. 1): 244 (Abstr.)
CAMERON, M.R., J. LUO, T. SAHLU, S.P. HART, S.W. COLE,
and A.L. GOETSCH. 2001. Growth and slaughter traits
of Boer x Spanish, Boer x Angora and Spanish goats
consuming a concentrate-based diet. J. Anim. Sci. 79:
1423 – 1430.
CHEEKE, P.R. 2004. Contemporary Issues in Animal
Agriculture. Third Edition. Pearson Prentice Hall,
New Jersey. 449 p.
CHOI, S.H., S. HAWONGBO, S.W. KIM, Y.H. CHOY, D.S. SON
and S.N. HUR. 2008. Feeding management to improve
productivity of Korean Black goat. Paper presented at
the International Seminar on Dairy and Meat Goat
Production. Bogor, August 5 – 6th, 2008. Indonesian
Research Institute for Animal Production, Food and
Fertilizer Technology Center and Taiwan Livestock
Research Institute. 11 p.
DAKHLAND, A. and SULASTRI. 2006. Phenotypic and genetic
parameters on growth traits of Boerawa goats at
Tanggamus, Lampung Province. Proc. of the 4th
ISTAP Animal Production and Sustainable
Agriculture in the Tropics. Yogyakarta, November 8 –
9, 2006. Faculty of Animal Science Gadjah Mada
University,Yogyakarta. pp. 71 – 74.
DEVENDRA, C. and M. BURNS. 1983. Goat Production in the
Tropics. Commonwealth Agricultural Bureaux.
DHANDA, J.S., D.G. TAYLOR, P.J. MURRAY, R.B. PEGG and
P.J. SHAND. 2003a. Goat meat production: Present
status and future possibilities. Asian-Aust. J. Anim.
Sci. 16: 1842 – 1852.
DHANDA, J.S., D.G. TAYLOR and P.J. MURRAY. 2003b. Part 1.
Growth, carcass and meat quality parameters of male
goats: Effects of genotype and liveweight at slaughter.
Small Rumin. Res. 50: 57 – 66.
DHANDA, J.S., D.G. TAYLOR and P.J. MURRAY. 2003c. Part 2.
Carcass composition and fatty acid profiles of adipose
tissue of male goats: Effects of genotype and
liveweight at slaughter. Small Rumin. Res. 50: 67 –
74.
DITJENNAK. 2007. Kebijakan pengembangan ternak kambing
dalam upaya pemenuhan kuota ekspor ke Timur
Tengah. Paper dipresentasikan pada Semiloka
Pengembangan Kambing Boerawa. Lampung, 29 –
30 Juli 2007. Direktorat Perbibitan, Ditjen Peternakan,
Departemen Pertanian.10 hlm.
DOLOKSARIBU, M., S. ELIESER, F. MAHMILIA dan F.A.
PAMUNGKAS. 2005. Produktivitas kambing Kacang
pada kondisi dikandangkan: 1. Bobot lahir, bobot
sapih, jumlah anak sekelahiran dan daya hidup anak
pra-sapih. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September
2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 581 – 589.
ERASMUS, J.A. 2000. Adaptation to various environments and
resistance to disease of improved Boer goat. Small
Rumin. Res. 36: 179 – 187.
GATENBY, R.M. 1988. Goat husbandry in West Timor,
Indonesia. Small Rumin. Res. 1: 113 – 121.
GEBRELUL, S. and M. IHEANACHO. 1997. The performance of
Boer cross kids under extensive management system
in Louisiana. J. Anim. Sci. 75(Suppl. 1): 11.
GREYLING, J.P.C. 2000. Reproduction traits in the Boer goat
does. Small Rumin. Res. 36: 171 – 177.
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
125
HARRINGTON, G. 1994. Consumer demands: Major problem
facing industry in consumer-driven society. Meat Sci.
36: 5 – 18.
HENDRICK, H.B., E.D. ABERLE, J.C. FORREST, M.D. JUDGE
and R.A. MERKEL. 1994. Principles of Meat Science.
3rd Ed. Kendall and Hunt, Iowa. 362 p.
HOLST, P.J. 1999. Recording and on-farm evaluation and
monitoring: breeding and selection. Small Rumin.
Res. 34: 197 – 202.
JOHNSON, W.L. and A. DJAJANEGARA. 1989. A pragmatic
approach to improving small ruminant diets in the
Indonesian humid tropics. J. Anim. Sci. 67: 3068 –
3079.
KNIPSCHEER, H.C., J. DE BOER and T.D. SOEDJANA. 1983. The
economic role of sheep and goats in West Java. Bull.
of Indonesian Economics Studies. XIX(3): 74.
KOSGEY, I.S., R.L. BAKER, H.M.J. UDO and J.A.M. VAN
ARENDONK. 2006. Successes and failures of small
ruminant breeding programmes in the tropics: A
review. Small Rumin. Res. 61: 13 – 28.
KOSGEY, I.S. and A.M. OKEYO. 2007. Genetic improvement
of small ruminants in low-input, smallholder
production systems: Technical and infrastructural
issues. Small Rumin. Res. 70: 76 – 88.
KRISNAN, R. dan S.P. GINTING. 2005. Produktivitas kambing
Kacang dengan pemberian pakan komplit buah
markisa (Passiflora edulis Sims. F. Edulis Deg)
terfermentasi Aspergillus niger. Pros. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor,
12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan,
Bogor. hlm. 625 – 629.
LEE, J.H., G. KANNAN, K.R. EEGA, B. KOUAKOU and W.R.
GETZ. 2008. Nutritional and quality characteristics of
meat from goats and lambs finished under identical
dietary regime. Small Rumin. Res. 74: 255 – 259.
LI, C., G. ZHOU, X. XU., J. ZHANG, S. XU and Y. JI. 2006.
Effects of marbling on meat quality characteristics
and intramuscular connective tissue of beef
longissimus muscle. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 12:
1799 – 1808.
LUO, J., T. SAHLU, M. CAMERON and A.L. GOETSCH. 2000.
Growth of Spanish, Boer x Angora and Boer x
Spanish goat kids fed milk replacer. Small Rumin.
Res. 36: 189 – 194.
MAKKA, D. 2004. Tantangan dan peluang pengembangan
agribisnis kambing ditinjau dari aspek pewilayahan
sentra produksi. Pros. Lokakarya Nasional Kambing
Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Puslitbang
Peternakan dan Loka Penelitian Kambing Potong.
hlm. 3 – 14.
MALAN, S.W. 2000. The improved Boer goat. Small Rumin.
Res. 36: 165 – 170.
MARTAWIDJAJA, M. 1999. Pengaruh taraf pemberian
konsentrat terhadap keragaan kambing Kacang betina
sapihan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, Bogor, 1 – 2 Desember 1998. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 478 – 484.
MARTAWIDJAJA, M., B. SETIADI dan S. SITORUS. 1999.
Karakteristik pertumbuhan anak kambing Kacang
prasapih dengan tatalaksana pemeliharaan creep
feeding. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, Bogor, 1 – 2 Desember 1998. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 485 – 490.
MCGREGOR, B.A. 1985. Growth, Development and Carcass
Composition of Goats: A Review. Goat Production
and Research in the Tropics. University of
Queensland, Brisbane, ACIAR, February 6 – 8th,
1984. pp. 82 – 90.
MORAND-FEHR. 1981. Growth. In: Goat Production. GALL, C.
(Ed.). Academic Press, London. pp. 253 – 283.
PAMUNGKAS, F.A., F. MAHMILIA, S. ELIESER dan M.
DOLOKSARIBU. 2005. Hubungan bobot induk saat
melahirkan dengan bobot lahir dan litter size kambing
persilangan Boer x Kacang. Pros. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13
September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor.
hlm. 586 – 589.
PEACOCK, C. 2008. Dairy goat development in East Africa: A
replicable model for smallholder? Small Rumin. Res.
(In Press).
PRIETO, I., A.L. GOETSCH, V. BANSKALIEVA, M. CAMERON, R.
PUCHALA, T. SAHLU, L.J. DAWSON and S.W.
COLEMAN. 2000. Effects of dietary protein
concentration on postweaning growth of Boer
crossbred and Spanish goat wethers. J. Anim. Sci. 78:
2275 – 2281.
PRIYANTO, D., B. SETIADI, D. YULISTIANI dan H. SETIYANTO.
2002. Performans ekonomi kambing Kaboer dan
kambing Kacang pada kondisi stasiun penelitian
Cilebut. Keragaan anak hasil persilangan kambing
Kacang dengan Boer dan Peranakan Etawah. Pros.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Ciawi-Bogor, 30 September – 1 Oktober
2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 212 – 216.
ROMJALI, E., L.P. BATUBARA, K. SIMANIHURUK dan S.
ELIESER. 2002. Keragaan anak hasil persilangan
kambing Kacang dengan Boer dan Peranakan
Etawah. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Ciawi-Bogor, 30
September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan,
Bogor. hlm. 113 – 115.
SETIADI, B., SUBANDRIYO, M. MARTAWIDJAYA, K. DIWYANTO,
I-K. SUTAMA, U. ADIATI, D. YULIASTINI, L.
PRAHARANI dan D. PRIYANTO. 2001. Analisis
Keunggulan Genetik Kambing Persilangan. Kumpulan
Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2000.
Buku I. Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak,
Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 182 – 199.
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
126
SITORUS, S.S. 1994. Milk production from Kacang goats in
Indonesia. Proc. of the 7th AAAP Animal Science
Congress. Bali, July 11 – 16th, 1994. Indonesian
Society of Animal Science, Jakarta. pp. 263 – 264.
SITORUS, S.S., M. MARTAWIDJAJA dan B. SETIADI. 1995.
Pertumbuhan anak kambing Kacang lepas sapih yang
berbeda tipe kelahiran dan jenis kelamin. Pros.
Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan.
Ciawi, Bogor, 25 – 26 Januari 1995. Balai Penelitian
Ternak, Ciawi, Bogor. hlm. 192 – 195.
SUNARLIM, R. dan H. SETYANTO. 2005. Potongan komersial
karkas kambing kacang jantan dan domba lokal
jantan terhadap komposisi fisik karkas, sifat fisik dan
nilai gizi daging. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September
2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 672 – 679.
TRIYANTINI, R. SUMARLIN, H. SETIYANTO, B. SETIADI dan M.
MARTAWIDJAJA. 2002. Evaluasi Mutu Daging pada
Berbagai Ras Kambing. Kumpulan Hasil-Hasil
Penelitian APBN Tahun Anggaran 2001. Buku I.
Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak,
Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 167 – 180.
VAN BINH, D. 2008. Results of research and the development
of goat production in Vietnam. Paper presented at the
International Seminar on Dairy and Meat Goat
Production. Bogor, August 5 – 6th 2008. Indonesian
Research Institute for Animal Production, Food and
Fertilizer Technology Center and Taiwan Livestock
Research Institute, 16 p.
115
KAMBING ‘BOERKA’: KAMBING TIPE PEDAGING HASIL
PERSILANGAN BOER X KACANG
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA
Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Sei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara
(Makalah diterima 9 Mei 2008 – Revisi 24 September 2008)
ABSTRAK
Perkembangan bangsa kambing di dunia mengarah kepada tiga produk utama yaitu daging, susu dan bulu (mohair). Di
Indonesia, daging kambing dihasilkan terutama oleh jenis kambing Kacang yang berukuran tubuh kecil dengan laju pertumbuhan
lambat, namun prolifik. Pembentukan bangsa kambing tipe pedaging memiliki arti penting karena 1) konsumsi daging kambing
nasional dapat lebih dipacu dengan mempromosikan karakteristik daging kambing yang memiliki keunggulan dibandingkan
dengan daging asal ternak ruminansia lain dilihat dari aspek kesehatan, dan 2) pemanfaatan pasar ekspor masih sangat rendah
dibandingkan dengan potensi yang ada, dan hal ini dapat ditingkatkan apabila tersedia bibit kambing dengan kapasitas bobot
hidup dan laju pertumbuhan yang tinggi. Kambing Boerka sebagai hasil persilangan kambing Boer dengan kambing Kacang
memiliki sifat sebagai kambing pedaging yang baik. Bobot hidup (lahir, sapih, umur 6, 9, 12, 18 bulan dan dewasa) rata-rata
lebih tinggi 33 – 48% dibandingkan dengan Kacang. Laju pertumbuhan prasapih dan pascasapih lebih tinggi rata-rata 39 dan 46%
dibandingkan dengan Kacang. Selang beranak dengan manajemen yang baik mencapai 233 hari, sehingga dapat melahirkan
sebanyak tiga kali dalam waktu dua tahun, seperti halnya kambing Kacang. Karakteristik karkas Boerka, seperti proporsi karkas,
panjang karkas dan lebar karkas lebih baik dibandingkan dengan kambing Kacang. pH dan kandungan protein karkas sebanding
antara Boerka dengan Kacang, sedangkan kandungan lemak lebih rendah pada kambing Boerka. Upaya pengembangan kambing
Boerka kepada masyarakat pengguna membutuhkan adanya suatu sistem yang tepat agar ketersediaan bibit baik dalam hal
jumlah maupun kualitasnya lebih terjamin. Prinsip skema pengembangan berbasis inti (nucleus-based breeding) dapat diadopsi
dan implementasinya dapat dimodifikasi, sehingga beberapa skema pengembangan sesuai dengan kondisi spesifik Indonesia
dapat dirancang sebagai alternatif pilihan.
Kata kunci: Kambing, pedaging, persilangan, pengembangan
ABSTRACT
BOERKA GOAT: A MEAT TYPE GOAT OF BOER X KACANG CROSSBRED
The world goat population has for three main types, namely meat goats, dairy goats and fiber goats. In Indonesia, goat meat
is produced mainly the Kacang goat, a small-size type with low growth rate, but prolific. The development of new goat breed
with larger mature weight and greater growth rate is important to promote and increase the goat meat production and
consumption as well. The acceleration of meat goat production in Indonesia need to be stimulated due to the large potential of the
international market. The healthy goat meat due to its higher polyunsaturated to saturated fatty acid ratio compared to those of
beef or lambs should be more promoted to encourage the consumption rate. The Boerka goat which has been developed by
mating the male Boer goat to Kacang does has good characteristics of meat goat type. The average birth weight, weaning weight,
weight at 6, 9, 12, 18 months old, and mature weight of Boerka goats are greater 33 – 48% compared to those of Kacang goat.
The average pre-weaning (0 – 90 days) and post-weaning growth rate (3 – 12 months) of Boerka in average are 39 and 46%,
respectively higher than those of Kacang goats. Under intensive management system, the kidding interval is 233 days, equal to
that of Kacang goat. Carcass characteristics such as carcass weight and length are greater in Boerka compared to Kacang goat.
The pH and protein content of carcass are comparable, while the fat content is lower in Boerka carcass. It is important to design
proper schemes for the dissemination of this Boerka goats to stakeholders. These schemes should be able to provide the Boerka
goats in a sustainable pattern, so that the production, supply and quality of this crossbred goat could be maintained continuously.
Several alternative schemes based on the nucleus-based breeding principles are proposed and discussed.
Key words: Goat, meat type, crossbreeding, development
PENDAHULUAN
Perkembangan bangsa kambing di dunia
mengarah kepada tiga produk utama yaitu daging, susu
dan bulu (mohair). Oleh karena kemampuan
adaptasinya yang sangat baik terhadap berbagai
keragaman klimat, maka terdapat beberapa bangsa
kambing yang menyebar di berbagai zona agroekosistem.
Diperkirakan ada sebanyak 102 bangsa
kambing yang menyebar di seluruh dunia dengan bobot
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
116
hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara
9 – 13 kg sampai terbesar melebihi 100 kg (DHANDA et
al., 2003a). Di Indonesia paling tidak dilaporkan
terdapat 13 jenis kambing baik asli maupun introduksi
yang menyebar hampir di seluruh kepulauan, dengan
sentra populasi utama adalah Jawa (57%), Sumatera
(25%), Sulawesi (7,4%) dan kepulauan Nusa Tenggara
(NTT dan NTB) (6,1%) (MAKKA, 2004).
Dari total populasi kambing sekitar 14 juta ekor
(DITJENNAK, 2007), kambing Kacang merupakan jenis
kambing dengan populasi terbanyak (83%). Jenis
kambing ini memiliki bobot hidup dan kapasitas
tumbuh yang rendah, dan lebih merupakan jenis
kambing dengan tipe prolifik (ASTUTI et al., 1984).
Sementara itu, kambing PE dengan proporsi populasi
sekitar 9,0% lebih dikenal dengan tipe dwiguna yaitu
penghasil susu maupun daging, walaupun memiliki
persentase karkas yang relatif rendah (46%). Dengan
demikian, ras kambing dengan populasi terbesar yang
terdapat di Indonesia pada dasarnya bukanlah
merupakan bangsa kambing yang memiliki karakter
ideal sebagai penghasil daging, jika dilihat dari aspek
kapasitas laju tumbuh, ukuran serta konformasi bobot
hidup, serta persentase karkas. Walaupun demikian,
kambing Kacang memiliki ukuran tubuh yang optimal
untuk kebutuhan pasar domestik.
Untuk lebih mendorong usaha produksi kambing
nasional, maka selain potensi pasar domestik yang
cenderung meningkat seiring dengan pertambahan
penduduk, potensi pasar ekspor yang sangat prospektif,
seperti Malaysia dan Brunei Darussalam (MAKKA,
2004) perlu dimanfaatkan secara maksimal. Dalam
konteks ini, ketersediaan bibit kambing dalam jumlah
memadai, berkesinambungan dan memiliki kualitas
teknis yang sesuai dengan persyaratan pasar menjadi
prasyarat yang sangat vital. Loka Penelitian Kambing
Potong telah mengembangkan program pembentukan
kambing unggul melalui pendekatan perkawinan silang
(cross breeding) antara pejantan kambing Boer dengan
induk kambing Kacang. Hasil silangan kedua ras
kambing tersebut adalah kambing ’Boerka’ yang
memiliki potensi sebagai jenis kambing tipe pedaging
yang relatif baik dan memiliki potensi sebagai bibit
kambing unggulan di waktu mendatang.
Tulisan ini mengemukakan arti penting
pembentukan jenis kambing pedaging di Indonesia
serta memaparkan dan membahas performans kambing
Boerka sebagai tipe kambing pedaging. Untuk
menjamin perkembangan dan penyebaran (diseminasi)
kambing Boerka secara sistematis kepada masyarakat
pengguna, berbagai konsep dan alternatif pola
pengembangannya dipaparkan.
MANFAAT DAN PELUANG PEMBENTUKAN
KAMBING TIPE PEDAGING
Tingkat konsumsi daging kambing termasuk
domba secara nasional baru berkisar antara 5 – 6% dari
total konsumsi daging, dan dibutuhkan sekitar 5,6 juta
ekor kambing per tahun untuk memenuhi kebutuhan
tersebut (MAKKA, 2004). Tingkat konsumsi ini relatif
rendah, namun memiliki peluang untuk lebih
ditingkatkan lagi. Faktor kualitas daging kambing,
terutama dalam kaitannya dengan isu kesehatan
maupun gizi yang sebenarnya memiliki keunggulan
komparatif dibandingkan dengan daging asal ternak
lain, selama ini belum banyak disosialisasikan kepada
masyarakat. Keunggulan kualitas daging kambing ini
seharusnya dapat menjadi salah satu faktor pendorong
penting bagi peningkatan konsumsi daging kambing
nasional. Potensi daging kambing dalam mensubstitusi
konsumsi daging sapi juga layak dipertimbangkan
sebagai salah satu strategi dalam upaya mengurangi
tekanan terhadap permintaan daging sapi yang saat ini
belum dapat sepenuhnya dipenuhi dari produksi dalam
negeri. Disamping itu, besarnya potensi pasar ekspor
yang selama ini baru dimanfaatkan secara minimalis
tetap menjadi faktor pendorong potensial bagi
pengembangan kambing pedaging di Indonesia.
Karakteristik kimiawi daging kambing
Mengkonsumsi daging kambing sering dianggap
secara awam lebih beresiko sebagai penyebab
timbulnya gangguan kesehatan dibandingkan dengan
daging dari jenis hewan lain. Hal ini sebenarnya
kontradiktif dengan hasil-hasil penelitian yang
mengungkapkan dengan jelas bahwa daging kambing
memiliki beberapa kelebihan bila dilihat dari aspek
kesehatan, dibandingkan dengan daging asal ternak
ruminansia lain. Kandungan protein daging kambing
relatif sebanding dengan daging domba maupun sapi,
sedangkan kandungan lemak lebih rendah dibandingkan
dengan daging sapi, dan setara dengan daging domba
(Tabel 1). Kandungan abu pada daging kambing
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daging
domba ataupun sapi.
Profil asam lemak pada karkas, terutama rasio
asam lemak tidak jenuh terhadap asam lemak jenuh
(saturated fatty acids; SFA) dapat digunakan sebagai
indikator kualitas karkas karena terkait dengan
kandungan kolesterol darah. Asam lemak tidak jenuh,
terutama dari kelompok yang memiliki lebih dari satu
ikatan ganda (polyunsaturated fatty acids; PUFA)
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
117
Tabel 1. Komposisi kimiawi daging beberapa jenis ternak ruminansia (%, as is)
Ternak Air Protein Abu Lemak PUFA : SFA* Pustaka
Kambing 68 – 73 19 – 23 1,0 – 1,7 3,5 – 4,9 0,33 – 0,97 LEE et al. (2008); DHANDA et al. (2003c);
BANSKALIEVA et al. (2000)
Domba 69 23,3 1,17 4,5 0,11 – 0,18 LEE et al. (2008); DHANDA et al. (2003a);
MALAN (2000)
Sapi 62 – 72 25,9 1,06 12,2 – 18,6 0,15 – 0,29 LEE et al. (2008); DHANDA et al. (2003c);
MALAN (2000); LI et al. (2006)
*PUFA : polyunsaturated fatty acids
*SFA : saturated fatty acids
diketahui memiliki peran dalam menurunkan kadar
kolesterol darah. BANSKALIEVA et al. (2000) dan
DHANDA et al. (2003a) menyimpulkan bahwa rasio
lemak tidak jenuh terhadap lemak jenuh pada daging
kambing adalah rata-rata sebesar 0,33, sementara pada
daging sapi dan domba jauh lebih rendah yaitu
berturut-turut antara 0,11 – 0,18 dan 0,15 – 0,29.
Penelitian DHANDA et al. (2003c) tentang profil asam
lemak jaringan adiposa intermuskuler pada kambing
silangan Boer dengan beberapa bangsa kambing
menunjukkan rasio yang lebih tinggi yaitu antara 0,6 –
0,84. Bahkan, rasio tersebut mencapai 0,97 bila
pemotongan dilakukan pada kambing dengan umur
lebih tua. Berbagai faktor seperti pakan, bangsa, jenis
kelamin serta umur maupun anatomi tubuh
mempengaruhi komposisi asam lemak (BANSKALIEVA
et al., 2000).
Dalam kondisi yang identik (umur dan pakan),
LEE et al. (2008) mendukung hasil penelitian
sebelumnya bahwa rasio asam lemak tidak jenuh
terhadap asam lemak jenuh lebih tinggi pada kambing
dibandingkan dengan domba. CHOI et al. (2008) juga
melaporkan hasil penelitian yang serupa bahwa daging
kambing lokal Korea (Korean Black Goat)
mengandung asam lemak tidak jenuh lebih tinggi
dibandingkan dengan daging sapi, dan juga
mengandung conjugated linoleic acid (CLA) dalam
kadar yang lebih tinggi. CLA diketahui dapat
menurunkan kadar kolesterol darah dan memiliki
aktivitas antikarsinogenik (CHEEKE, 2004; CHOI et al.,
2008). Rasio asam lemak tidak jenuh yang relatif tinggi
terhadap asam lemak jenuh pada daging kambing
mengindikasikan bahwa daging kambing relatif lebih
menyehatkan terutama terkait dengan penyakit
kardiovaskuler (HARRINGTON, 1994). Oleh karena
konsentrasi kolesterol dalam plasma dipengaruhi oleh
komposisi asam lemak yang dikonsumsi, maka fakta
ilmiah ini sebenarnya merupakan promosi untuk
meningkatkan konsumsi daging kambing kepada
masyarakat.
Kambing pedaging sebagai komoditas ekspor
Pengusahaan ternak kambing di Indonesia yang
sebagian besar dilakukan secara tradisional/sambilan
ditujukan terutama bagi pemenuhan kebutuhan daging
di dalam negeri. Ternak kambing juga memiliki potensi
sebagai komoditas ekspor untuk memenuhi permintaan
pasar di beberapa negara, seperti Malaysia dan Brunei
Darussalam (200 ribu ekor/tahun), maupun Arab Saudi
(2,5 juta ekor per tahun) (MAKKA, 2004). Ekspor
kambing dari Indonesia ke Malaysia telah berlangsung
dalam jumlah terbatas, dan belum mampu memenuhi
kebutuhan negara tersebut. Dilaporkan bahwa pada
2006 telah diekspor kambing bakalan sebanyak 6.228
ekor dan sebanyak 585 ekor kambing bibit ke Malaysia
(DITJENNAK, 2007). Jumlah ini masih jauh di bawah
potensi pasar yang ada.
Potensi pasar ekspor diperkirakan masih akan
terus berlangsung karena kapasitas produksi kambing
dalam negeri Malaysia saat ini baru mencapai 9,0%
dari kebutuhan domestiknya (BABA, 2008). Mengingat
bahwa kegiatan ekspor kambing dapat menghasilkan
devisa dan mampu menggairahkan usaha produksi
kambing dan perekonomian di pedesaan, maka salah
satu pendekatatan strategis yang dapat dilakukan untuk
memaksimalkan pemanfaatan pasar tersebut adalah
menghasilkan jenis kambing lokal yang memiliki sifat
penghasil daging yang lebih tinggi, sehingga lebih
memenuhi kriteria pasar ekspor.
PEMBENTUKAN KAMBING BOERKA
Silang bangsa (crossbreeding) antara dua atau
lebih bangsa pada ternak ruminansia merupakan salah
satu cara yang baik untuk meningkatkan produktivitas.
Pemilihan bangsa atau ras yang memiliki sifat unggul
tertentu dalam program persilangan sangat penting.
Telah diketahui bahwa ras kambing di daerah tropis,
termasuk kambing Kacang umumnya memiliki
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
118
keunggulan terutama dalam hal kesuburan (fertilitas)
dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Bobot lahir
serta laju pertumbuhan pada suatu ras kambing
tergantung kepada potensi bobotnya saat mencapai
kedewasaan (maturity), sehingga tingkat pertumbuhan
anak pada ras kambing dengan tipe besar akan lebih
tinggi dibandingkan pada ras kambing tipe kecil
(DHANDA, 2003a). Introduksi ras eksotik yang berasal
dari daerah tropis dalam program persilangan dengan
kambing Kacang diharapkan dapat menghasilkan
kambing silangan dengan kapasitas produksi yang lebih
tinggi. Pada domba misalnya, pendekatan ini telah
menghasilkan domba Sei Putih dengan peningkatan
produktivitas (berat anak sapih/induk/tahun) sebesar 30
– 50% (BRADFORD et al., 1996). Peningkatan ini
terutama disebabkan oleh meningkatnya bobot lahir
dan bobot sapih anak, sedangkan laju reproduktivitas
pada dasarnya sebanding.
Bangsa kambing Boer merupakan salah satu jenis
kambing dengan potensi pertumbuhan dan bobot hidup
yang tinggi dan memiliki sifat fertilitas yang baik
(GREYLING, 2000). Dengan sifat unggul tersebut, maka
kambing Boer telah banyak digunakan dalam program
persilangan di banyak negara, termasuk Indonesia
untuk menghasilkan kambing silangan Boerka
(Gambar 1).
Gambar 1. Kambing Boer, Kacang dan Boerka
kambing Boerka
kambing Boer kambing Kacang
X
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
119
Kambing Boer dalam program persilangan
Kambing Boer telah dikenal luas dalam hal
keunggulannya menghasilkan daging baik dari sisi
jumlah maupun karakteristik kimiawinya. Kapasitas
bobot hidup dan laju pertumbuhan kambing Boer
menunjukkan potensi tersebut. Bobot hidup pejantan
Boer dewasa yang terseleksi dengan baik (improved
Boer) dapat mencapai antara 100 – 120 kg dan berat
sapih umur 120 hari dapat mencapai 29 kg (MALAN,
2000). ERASMUS (2000) melaporkan bobot lahir
kambing Boer mencapai 3,9 – 4,0 kg dan pada umur
100 hari pejantan Boer setelah dikoreksi terhadap tipe
kelahiran rata-rata mencapai 25,3 kg, sedangkan ratarata
laju pertambahan bobot badan harian berkisar
antara 203 – 245 g.
Oleh karena kapasitas performans yang sedemikian
tinggi ini, maka jenis kambing Boer telah digunakan
dalam program persilangan untuk perbaikan atau
peningkatan genetik kambing lokal di banyak negara
seperti, Filipina (ALO, 2008), Vietnam (VAN BINH,
2008), Amerika Serikat (LUO et al., 2000; CAMERON et
al., 2001), Australia (DHANDA et al., 2003a; b), dan
Indonesia (SETIADI et al., 2001; DAKHLAN dan
SULASTRI, 2006).
Selain memiliki kapasitas bobot hidup besar,
kambing Boer memiliki kemampuan untuk beradaptasi
dengan baik pada berbagai kondisi klimat, sistem
produksi dan tipe pastura (ERASMUS, 2000). Namun
demikian, adanya interaksi genotipa x lingkungan
sangat mungkin terjadi apabila kambing Boer
dikembangkan di luar ekosistem aslinya. BLACKBURN
(1995) yang melakukan analisis terhadap model untuk
mensimulasi beberapa fungsi biologis seperti
pertumbuhan, laktasi, reproduksi dan konsumsi pakan
pada kambing Boer dan kambing Spanish
mengindikasikan bahwa performans kambing Boer
tidak maksimal jika dipelihara dengan pola manajemen
ekstensif. Penggunaan kambing Boer akan menjadi
efektif apabila didukung oleh input yang memadai
terutama dalam penyediaan pakan baik hijauan maupun
suplemen. Kesimpulan ini didukung oleh hasil
penelitian GEBRELUL dan IHEANACHO (1997) yang
menunjukkan bahwa pada kondisi manajemen ekstensif
kambing persilangan Boer x Alpine, Boer x Spanish
dan Boer x Tennessee ternyata memiliki bobot hidup
lebih besar dibandingkan dengan Boer murni pada
umur 4, 8 dan 12 minggu.
Persilangan kambing Boer dengan Kacang
Program pembentukan kambing silangan Boer
dengan Kacang adalah untuk mendapatkan kambing
Boerka dengan komposisi 50% Boer dan 50% Kacang.
Dari pengalaman membentuk domba Sei Putih,
BRADFORD et al. (1996) menyimpulkan bahwa
komposisi 50 : 50 untuk ras lokal dan ras eksotik
merupakan kombinasi yang cukup optimal. Mengambil
pelajaran dari pembentukan domba Sei Putih, maka
dikembangkan program pembentukan kambing Boerka.
Skema program pembentukan kambing Boerka
ditampilkan pada Gambar 2. Kambing Boerka (50B;
50K) yang dihasilkan dari perkawinan pejantan Boer
dengan induk Kacang (F1) selanjutnya diseleksi.
Kriteria seleksi adalah bobot lahir, bobot sapih dan
bobot pada umur 8 – 10 bulan. Intensitas seleksi
berkisar antara 80 – 85% untuk pejantan dan 60 – 65%
untuk induk (BRADFORD et al., 1996).
Pembentukan kambing Boerka selanjutnya
dilakukan melalui perkawinan sesama Boerka (interse
mating). Pejantan maupun betina Boerka yang
dikawinkan adalah kelompok yang telah lolos seleksi
pada tahap pra dan lepas sapih. Walaupun demikian, ke
depan tidak tertutup kemungkinan untuk meningkatkan
atau menurunkan persentase darah Boer dalam
pembentukan kambing Boerka yang lebih efisien sesuai
dengan kondisi agroekosistem dimana kambing Boerka
akan dikembangkan.
Boer
♂ ♂ ♂ ♂ ♂
Boerka Boerka Boerka Boerka Boerka
♀ ♀ ♀ ♀ ♀
Kacang
Seleksi Seleksi Seleksi Seleksi Seleksi
Gambar 2. Skema program persilangan kambing Boer x Kacang untuk membentuk kambing Boerka
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
120
PERFORMANS KAMBING BOERKA
Keragaan bobot hidup dan pertumbuhan
Besaran bobot lahir suatu ras kambing sangat
ditentukan oleh konformasi serta besaran ukuran tubuh
tetuanya (MORAND-FEHR, 1981). Adanya pengaruh
heterosis seperti yang diharapkan dari persilangan Boer
x Kacang mengakibatkan bobot lahir anak kambing
Boerka lebih tinggi dibandingkan dengan kambing
Kacang (Tabel 2). Keunggulan bobot lahir kambing
Boerka secara rata-rata sebesar 42% dibandingkan
dengan kambing Kacang dan bobot lahir jenis kelamin
jantan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
jenis kelamin betina. Bobot lahir terkait erat dengan
daya hidup dan bobot hidup pada saat disapih, sehingga
bobot lahir menjadi karakter yang menentukan dalam
pencapaian tingkat efisiensi produksi.
Bobot hidup kambing Boerka secara konsisten
lebih tinggi dibandingkan dengan kambing Kacang
pada berbagai umur. Pada saat umur 3 bulan (sapih), 6,
9, 12 dan 18 bulan serta bobot dewasa (> 18 bulan)
bobot hidup kambing Boerka jantan rata-rata lebih
tinggi 36 – 45% dan pada kambing Boerka betina ratarata
lebih tinggi 26 – 40% dibandingkan dengan
kambing Kacang. Pada umur 12 atau 18 bulan kambing
Boerka jantan telah mampu mencapai bobot hidup
antara 26 – 36 kg dan sesuai persyaratan pasar ekspor.
Dengan demikian, kambing Boerka merupakan ras
kambing yang memiliki potensi untuk dikembangkan
secara komersial dalam mendukung pemasaran ternak
kambing untuk tujuan ekspor di waktu mendatang.
Laju pertumbuhan kambing Boerka masa prasapih
menurut tipe kelahiran maupun jenis kelamin
ditampilkan pada Tabel 3. Data tersebut menunjukkan
bahwa tipe kelahiran dan jenis kelamin mempengaruhi
laju pertumbuhan anak. Sesuai dengan sifat jenis
kelamin, maka laju pertumbuhan jantan lebih tinggi
dibandingkan dengan betina, dan laju pertumbuhan
anak dengan tipe kelahiran tunggal lebih tinggi
dibandingkan pada kelahiran kembar. Rataan umum
menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan anak
kambing Boerka masa prasapih sebesar 118 g/hari, jauh
lebih tinggi dibandingkan pada kambing Kacang
sebesar 52 – 70 g/hari.
Relatif tingginya laju pertumbuhan masa prasapih
tersebut terkait dengan tingginya bobot lahir pada
kambing Boerka. Faktor bobot lahir serta laju
pertumbuhan prasapih merupakan variabel yang
menentukan tingginya bobot sapih pada Boerka
dibandingkan dengan Kacang. Seperti halnya bobot
lahir, maka laju pertumbuhan anak sangat ditentukan
oleh kapasitas ukuran tubuh dewasa baik pejantan
maupun induk (MCGREGOR, 1985). Dengan demikian,
laju pertumbuhan pada ras kambing tipe besar
umumnya akan lebih tinggi dibandingkan pada ras tipe
kecil. Penggunaan pejantan Boer yang merupakan ras
kambing tipe besar merupakan kontributor utama
terhadap tingginya laju pertumbuhan kambing Boerka.
Laju pertumbuhan periode pascasapih, walaupun
dengan status nutrisi yang maksimal akan mengalami
perlambatan jika dibandingkan dengan pertumbuhan
selama masa prasapih (DHANDA et al., 2003a).
Perlambatan laju pertumbuhan pascasapih dilaporkan
lebih tajam pada anak yang disapih pada umur yang
lebih muda, dan anak jantan lebih sensitif terhadap
sapih dini dibandingkan dengan anak jenis kelamin
betina (MORAND-FEHR, 1981).
Tabel 2. Bobot hidup kambing Boerka dan Kacang pada berbagai umur
Bobot hidup (kg)
Umur Jantan Betina
Boerka Kacang Boerka Kacang
Pustaka
Lahir 2,2 – 2,8 1,5 – 2,0 2,0 – 2,6 1,4 – 1,7 ROMJALI et al. (2002); DOLOKSARIBU et al. (2005);
ASTUTI et al. (1984)
3 bulan 9 – 15 6,7 – 8,7 8 – 12 6,4 – 7,8 DOLOKSARIBU et al. (2005); ASTUTI et al. (1984);
PRIYANTO et al. (2002); KNIPSCHEER et al. (1983)
6 bulan 16 – 22 12 – 16 14 – 18 11 – 14 SETIADI et al. (2001); GATENBY (1988); SITORUS et al.
(1995)
9 bulan 21 – 24 14 – 17 15 – 19 13 – 15 PRIYANTO et al. (2002); SETIADI et al. (2001);
GATENBY (1988); MARTAWIDJAJA (1999)
12 bulan 26 – 32 14,7 – 20 18 – 26 14,7 – 18 ASTUTI et al. (1984); PRIYANTO et al. (2002); SETIADI
et al. (2001); GATENBY (1988)
18 bulan 28 – 36 20 – 24 20 – 28 16 – 21 GATENBY (1988); DEVENDRA dan BURNS (1983)
>18 bulan 38 – 50 22 – 30 28 – 38 18 – 24 GATENBY (1988); DEVENDRA dan BURNS (1983);
PAMUNGKAS et al. (2005)
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
121
Tabel 3. Pertambahan bobot hidup harian (PBHH) anak
kambing Boerka dan Kacang berdasarkan tipe
kelahiran dan jenis kelamin periode prasapih
PBHH (g)
Uraian
Boerka1 Kacang
Tipe kelahiran
Tunggal 115 – 141 1032
Kembar-2 93 – 101 54 – 632
Jenis kelamin
Jantan 106 – 126 52 – 703,4
Betina 77 – 112 52 – 553,4
Tipe kelahiran/jenis kelamin
Tunggal/jantan 129 – 148 86 – 925
Tunggal/betina 88 – 136
Kembar-2/jantan 102 – 108 54 – 735
Kembar-2/betina 75 – 96
Sumber: 1SETIADI et al. (2001); 2SITORUS dan KUSWANDI
(1994); 3DOLOKSARIBU et al. (2005); 4ASTUTI et al.
(1984); 5MARTAWIDJAJA et al. (1999)
Fenomena tersebut terlihat pada kambing Boerka
yaitu terjadinya perlambatan laju pertumbuhan seiring
dengan bertambahnya umur (Tabel 4). Laju
pertumbuhan kambing Boerka selama pascasapih
masih tergolong tinggi dibandingkan dengan kambing
Kacang. Pada umur antara 3 sampai dengan 6 bulan,
misalnya laju pertumbuhan kambing Boerka lebih
tinggi rata-rata 42% dibandingkan dengan kambing
Kacang. Laju pertumbuhan yang lebih tinggi
memungkinkan kambing Boerka mencapai bobot
potong pada umur yang lebih muda. Laju pertumbuhan
kambing Boerka tersebut relatif sebanding dengan laju
pertumbuhan kambing silangan Boer x East Africa
(BARRY dan GODKE, 1991).
Tabel 4. Pertambahan bobot hidup harian (PBHH) kambing
Boerka dan Kacang pada berbagai periode umur
pascasapih
PBHH (g)
Umur
Boerka Kacang
>3 – 6 bulan 70 – 981,2 42 – 693,4
>6 – 9 bulan 64 – 861 575
>9 – 12 bulan 52 – 671 385
Sumber: 1)SETIADI et al. (2001); 2BATUBARA et al. (2005);
3JOHNSON dan DJAJANEGARA (1989); 4KRISNAN dan
GINTING (2005); 5GATENBY (1988)
Bangsa kambing East Africa tergolong jenis
kambing tipe kecil seperti halnya kambing Kacang.
Namun, bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan
pada kambing silangan Boer x Spanish sebesar 76 –
100 g/hari (PRIETO et al., 2000) maupun Boer x Angora
sebesar 161 g/hari (CAMERON et al., 1999) umur 4 – 8
bulan, maka laju pertumbuhan silangan Boer x Kacang
relatif lebih rendah. Hal ini terkait dengan kapasitas
bobot hidup kambing Spanish maupun Angora yang
lebih besar dibandingkan dengan kambing Kacang.
Keragaan karkas
Karakteristik dan mutu karkas kambing
persilangan Boer x Kacang (50 Boer; 50 Kacang) telah
dianalisis secara ekstensif oleh TRIYANTINI et al.
(2002). Beberapa aspek karakteristik karkas yang
dievaluasi antara lain proporsi potongan karkas, sifat
fisik maupun kimiawi karkas. Beberapa karakteristik
karkas tersebut ditampilkan pada Tabel 5. Karakteristik
komponen karkas kambing Boerka relatif lebih baik
dibandingkan dengan kambing Kacang, sedangkan
kandungan nutrisi maupun sifat fisik daging relatif
sama antara kedua ras.
Tabel 5. Komparatif karakteristik karkas kambing Boerka
(50B; 50K; F1) jantan umur > 1 tahun terhadap
kambing Kacang
Karakteristik karkas Boerka1 Kacang2
Proporsi karkas, % 46,0 44,02
Panjang karkas, cm 76-77 54 – 591
Lebar karkas, cm 34 - 35 30 – 311
Lingkar paha belakang, cm 30 - 31 26 – 291
Lingkar paha depan, cm 17 - 19 20 – 211
pH 5,4 – 5,8 5,4 – 5,71,2
Kadar protein,% 19 – 22 20 – 211
Kadar lemak, % 0,15 – 0,50 1,2 – 3,52
Kadar air,% 74-78 72 – 781,2
Susut masak, % 29-48 29 – 361
Keempukan, kg/detik
Mentah 27 – 41 23 – 331,2
Matang 20 – 30 17 – 301
Sumber: 1TRIYANTINI et al. (2002); 2SUNARLIM dan
SETIYANTO (2005)
Mutu karkas kambing Boerka dilaporkan
tergolong ke dalam kategori Mutu I dan serupa dengan
kambing Kacang yaitu dengan karakteristik ciri
penampakan agak lembab, tekstur lembut dan kompak,
warna merah khas daging, lemak panggul tebal dan bau
spesifik. Karakteristik mutu tersebut mengindikasikan
bahwa daging kambing Boerka akan dapat diterima
oleh konsumen seperti halnya dengan kambing
Kacang. Persentase karkas terhadap bobot hidup pada
kambing Boerka dalam penelitian ini sebanding dengan
kambing persilangan Boer x Spanish (46,3%) namun
relatif lebih rendah dibandingkan pada Boer x Angora
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
122
(47,0%) (CAMERON et al., 2001). pH daging kambing
Boerka berkisar antara 5,4 – 5,8; sebanding dengan pH
daging kambing Kacang dan berada pada rentang nilai
normal untuk daging konsumsi (HENDRICK et al.,
1994). Pada silangan kambing Boer dengan beberapa
bangsa kambing seperti Angora, Feral dan Saanen,
DHANDA et al. (2003b) mendapatkan pH daging
berkisar antara 5,7 – 5,9.
PENYEBARAN KAMBING BOERKA
Pengembangan bibit kambing Boerka mencakup
dua fase yaitu proses pembentukan dan proses
penyebaran atau diseminasi kepada pengguna. Proses
pembentukan pada dasarnya secara teknis lebih mudah
dikendalikan, oleh karena dilakukan oleh suatu institusi
yang kompeten dengan pola yang standar. Fase yang
lebih krusial sebenarnya terletak pada bagaimana
membangun sistem yang dapat menjamin ketersediaan
dan penyebaran bibit secara berkelanjutan dengan tetap
menjaga kualitas sebagai ternak bibit. PEACOCK (2008)
memaparkan bahwa banyak program pengembangan
bibit kambing di negara berkembang, terutama di
Afrika maupun Asia (KOSGEY dan OKEYO, 2007) pada
masa lalu gagal, oleh karena tidak disertai dengan
sistem penyebaran yang berkelanjutan. Beberapa
program yang sukses dalam pengembangan bibit
kambing dan domba di beberapa negara berkembang
beriklim tropis dilaksanakan melalui skema
pengembangan berbasis inti (nucleus-based breeding
schemes) (KOSGEY et al., 2006). Pendekatan berbasis
inti tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk
memanfaatkan secara efektif populasi bibit kambing
atau domba dengan kelas unggul sebagai sumber bibit
(inti) untuk selanjutnya disebar kepada pengguna atau
peternak komersial. Skema ini dapat dikembangkan
menjadi berbagai varian skema dengan membangun
beberapa simpul (komponen), biasanya dua atau tiga
simpul, dan berdasarkan kebijakan migrasi ternak antar
setiap simpul yaitu dapat bersifat terbuka (open nucleus
scheme) maupun tertutup (closed nucleus scheme).
Keberhasilan skema tersebut sangat ditentukan oleh
efektivitas manajemen pada setiap simpul maupun
integritas keseluruhan simpul. Beberapa kasus
kegagalan dengan pendekatan skema ini terjadi di
beberapa negara akibat manajemen yang tidak efisien
(AHUYA et al., 2005).
Pendekatan skema inti tersebut dapat diadopsi
sebagai model pengembangan kambing Boerka di
Indonesia dengan menyesuaikannya kepada
karakteristik kondisi yang spesifik. Beberapa alternatif
pola pengembangan ditampilkan pada Gambar 3.
Model A
Model B
Model C
Gambar 3. Beberapa alternatif skema pengembangan kambing Boerka
INTI
(Komunitas peternak; APDKI)
KOMERSIAL
(Peternak)
INTI (BPTU)
MULTIPLIKATOR
(Komunitas peternak;
APDKI)
KOMERSIAL
(Peternak)
INTI
(Lembaga penelitian)
MULTIPLIKATOR
(Komunitas peternak;
APDKI)
MULTIPLIKATOR
(BPTU)
MULTIPLIKATOR
(Pemda)
KOMERSIAL
(Peternak)
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
123
Model A merupakan pengembangan dengan basis
komunitas peternak yang dapat berupa kelompok
ternak aktif ataupun asosiasi peternak, misalnya
Asosiasi Peternak Kambing dan Domba (APDKI).
Kelebihan model tersebut adalah bahwa tingkat
manajemen yang dilakukan di simpul inti biasanya
tidak berbeda jauh dengan di simpul komersial,
sehingga ternak yang disebar akan lebih sesuai dengan
kondisi peternak. Kelemahan utama model ini adalah
terbatasnya kemampuan untuk mengorganisir,
melaksanakan dan menganalisis data performans
maupun asal usul (pedigree) yang sangat diperlukan
dalam manajemen simpul inti. Selain itu, besar peluang
terjadinya penjualan ternak dengan kualitas baik untuk
alasan finansial, atau keperluan sosial-kultural dan
bukan untuk kepentingan pengembangan.
Model B merupakan skema pengembangan
dengan basis institusi pemerintah, dan dapat
mengandung dua simpul (inti dan komersial) atau tiga
simpul (inti, multiplikator dan komersial). Dalam
skema ini institusi pemerintah seperti Balai
Pengembangan Ternak Unggul (BPTU) dapat berfungsi
sebagai simpul inti, dan untuk memperluas wilayah
pelayanan dapat dibentuk simpul multiplikator yang
diperankan oleh komunitas peternak, seperti kelompok
peternak ataupun APDKI. Model ini memiliki
kelebihan bahwa simpul inti relatif memiliki dukungan
finansial, teknis maupun infrastruktur yang dibutuhkan
dalam pengembangan kambing Boerka. Kelemahan
model ini antara lain sifatnya yang cenderung
sentralistik, sehingga memiliki hambatan geografis dan
lambat dalam mengantisipasi permintaan simpul
komersial yang tersebar di berbagai wilayah yang luas.
Kelemahan lain adalah terbatasnya kemampuan simpul
inti untuk menganalisis secara akurat berbagai data
performans yang dibutuhkan dalam manajemen.
Model C merupakan skema pengembangan
dengan basis institusi pemerintah dengan menempatkan
lembaga penelitian sebagai simpul inti. Dalam
pelaksanaannya model ini dapat diimplementasikan
dengan memilih salah satu simpul multiplikator atau
sekaligus membentuk tiga simpul multiplikator. Simpul
multiplikator yang lebih banyak dalam jumlah maupun
lebih beragam dalam karakter akan memberi pengaruh
positif dalam program pengembangan secara
keseluruhan. Fungsi simpul inti yang diemban oleh
lembaga penelitian merupakan salah satu kelebihan
dalam model ini, karena kapasitas dalam mengelola
dan menganalisis data secara akurat relatif kuat.
Adanya simpul multiplikator yang diemban oleh
PEMDA, misalnya dengan pembentukan unit produksi
ternak bibit akan mengurangi kendala geografis,
sehingga mempercepat pengembangan ternak kepada
simpul komersial.
Beberapa faktor yang sering menjadi penghambat
dalam program perbaikan mutu genetik antara lain
adalah kurangnya catatan performans dan asal usul
(pedigree), kurang efektifnya atau tidak adanya
organisasi di tingkat peternak yang secara aktif
berpartisipasi di dalam program.
Identifikasi ternak selalu menjadi masalah dalam
catatan tampilan ternak, sehingga diperlukan penerapan
yang sistematis, sederhana dan mudah. Selain
kelengkapan data, maka kemampuan menganalisis dan
menggunakan data untuk proses seleksi memiliki arti
sangat penting dalam keseluruhan program. Data yang
lengkap misalnya sangat dibutuhkan di dalam
manajemen seperti manajemen jaminan mutu dan
perencanaan perkawinan (HOLST, 1999). Dalam hal ini
petani, organisasi petani, bahkan institusi pemerintah
yang memiliki fungsi pengembangan ternak unggul
sering tidak memiliki keahlian atau spesifikasi untuk
melakukannya secara akurat. Oleh karena itu, apabila
skema yang ingin dikembangkan dititikberatkan
kepada basis komunitas peternak, seperti APDKI atau
kelompok ternak, maka keterkaitan secara institusional
dengan lembaga penelitian atau akademik yang relavan
dibutuhkan, terutama untuk menganalisis data. Untuk
itu diperlukan jejaring kerja yang dapat memfasilitasi
hubungan antar kelompok tani maupun instansi
penunjang. Pengembangan kambing Boer di Afrika
Selatan merupakan salah satu contoh keberhasilan
menggunakan skema inti dengam pola tertutup yang di
dukung oleh institusi pemerintah dengan dukungan
finansial, teknik dan infrastruktur yang sangat baik
(KOSGEY dan OKEYO, 2007).
KESIMPULAN
Kontribusi ternak kambing sebagai penyumbang
daging secara nasional relatif masih rendah, namun
kontribusi ternak ini kedepan dapat lebih dipacu
mengingat bahwa daging kambing secara nutrisi dan
kesehatan memiliki kelebihan dibandingkan dengan
ternak ruminansia lain. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kambing Boerka memiliki kapasitas tumbuh dan
bobot hidup yang sangat baik dan lebih tinggi
dibandingkan dengan kambing Kacang. Kambing ini
dapat menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan
sebagai kambing pedaging di masa mendatang. Proses
pengembangan dan penyebaran kambing Boerka
kepada masyarakat pengguna membutuhkan sistem
yang dapat menjamin ketersediaan baik jumlah maupun
kualitasnya secara berkesinambungan. Untuk itu
tersedia beberapa alternatif skema yang dapat
dikembangkan sesuai dengan kondisi wilayah yang
spesifik di Indonesia.
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
124
DAFTAR PUSTAKA
AHUYA, C.O., A.M. OKEYO, MWANGI-NJURU and C.
PEACOCK. 2005. Development challenge and
opportunities in the goat industry: The Kenya
experience. Small Rumin. Res. 60: 197 – 206.
ALO, A.M.P. 2008. Trends in goat production in the
Philippines. Paper presented at the International
Seminar on Dairy and Meat Goat Production. Bogor,
August 5 – 6th, 2008. Indonesian Research Institute
for Animal Production, Food and Fertilizer
Technology Center-ASPAC, Taiwan Livestock
Research Institute. 26 p.
ASTUTI, M., M. BELL, P. SITORUS and G.E. BRADFORD. 1984.
The impact of altitude on sheep and goat production.
Working paper No. 30. SR-CRSP/Balitnak, Bogor.
BABA, A.R. 2008. Breeding and reproduction of goat in
Malaysia. Paper presented at the International
Seminar on Dairy and Meat Goat Production. Bogor,
August 5 – 6th, 2008. Indonesian Research Institute
for Animal Production, Food and Fertilizer
Technology Center-ASPAC, Taiwan Livestock
Research Institute. 12 p.
BANSKALIEVA, T. SAHLU and A.L. GOETSCH. 2000. Fatty acid
composition of goat muscle and fat deposit: A review.
Small Rum. Res. 37: 255 – 268.
BARRY, D.D. and R.A. GODKE. 1991. The Boer goat: The
potential for crossbreeding. National Symposium on
Goat Meat Production and Marketing. Langston
University, Langston, OK, US. pp. 180 – 189.
BATUBARA, J.P., R. KRISNAN, S.P. GINTING dan J. SIANIPAR.
2005. Penggunaan bungkil inti sawit dan Lumpur
sawit sebagai pakan tambahan untuk kambing. Pros.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 611 – 616.
BLACKBURN, H.D. 1995. Comparison of performance of Boer
and Spanish Goats in two U.S. locations. J. Anim.
Sci. 73: 302 – 309.
BRADFORD, G.E., SUBANDRIYO, M. DOLOKSARIBU and R.M.
GATENBY. 1996. Breeding strategies for low input
system. Proc. Small Ruminant Production:
Recommendation for Southeast Asia. Parapat, North
Sumatera, May 12 – 15th, 1996. Small Ruminant-
Collaborative Research Support Program, Agency for
Agricultural Research and Development. pp. 55 – 62.
CAMERON, M.R., J. LUO, T. SAHLU, S. HART and S. COLEMAN.
1999. Postweaning growth performance in Spanish,
Boer x Spanish, and Boer x Angora goat kids. J.
Anim. Sci. 77 (Suppl. 1): 244 (Abstr.)
CAMERON, M.R., J. LUO, T. SAHLU, S.P. HART, S.W. COLE,
and A.L. GOETSCH. 2001. Growth and slaughter traits
of Boer x Spanish, Boer x Angora and Spanish goats
consuming a concentrate-based diet. J. Anim. Sci. 79:
1423 – 1430.
CHEEKE, P.R. 2004. Contemporary Issues in Animal
Agriculture. Third Edition. Pearson Prentice Hall,
New Jersey. 449 p.
CHOI, S.H., S. HAWONGBO, S.W. KIM, Y.H. CHOY, D.S. SON
and S.N. HUR. 2008. Feeding management to improve
productivity of Korean Black goat. Paper presented at
the International Seminar on Dairy and Meat Goat
Production. Bogor, August 5 – 6th, 2008. Indonesian
Research Institute for Animal Production, Food and
Fertilizer Technology Center and Taiwan Livestock
Research Institute. 11 p.
DAKHLAND, A. and SULASTRI. 2006. Phenotypic and genetic
parameters on growth traits of Boerawa goats at
Tanggamus, Lampung Province. Proc. of the 4th
ISTAP Animal Production and Sustainable
Agriculture in the Tropics. Yogyakarta, November 8 –
9, 2006. Faculty of Animal Science Gadjah Mada
University,Yogyakarta. pp. 71 – 74.
DEVENDRA, C. and M. BURNS. 1983. Goat Production in the
Tropics. Commonwealth Agricultural Bureaux.
DHANDA, J.S., D.G. TAYLOR, P.J. MURRAY, R.B. PEGG and
P.J. SHAND. 2003a. Goat meat production: Present
status and future possibilities. Asian-Aust. J. Anim.
Sci. 16: 1842 – 1852.
DHANDA, J.S., D.G. TAYLOR and P.J. MURRAY. 2003b. Part 1.
Growth, carcass and meat quality parameters of male
goats: Effects of genotype and liveweight at slaughter.
Small Rumin. Res. 50: 57 – 66.
DHANDA, J.S., D.G. TAYLOR and P.J. MURRAY. 2003c. Part 2.
Carcass composition and fatty acid profiles of adipose
tissue of male goats: Effects of genotype and
liveweight at slaughter. Small Rumin. Res. 50: 67 –
74.
DITJENNAK. 2007. Kebijakan pengembangan ternak kambing
dalam upaya pemenuhan kuota ekspor ke Timur
Tengah. Paper dipresentasikan pada Semiloka
Pengembangan Kambing Boerawa. Lampung, 29 –
30 Juli 2007. Direktorat Perbibitan, Ditjen Peternakan,
Departemen Pertanian.10 hlm.
DOLOKSARIBU, M., S. ELIESER, F. MAHMILIA dan F.A.
PAMUNGKAS. 2005. Produktivitas kambing Kacang
pada kondisi dikandangkan: 1. Bobot lahir, bobot
sapih, jumlah anak sekelahiran dan daya hidup anak
pra-sapih. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September
2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 581 – 589.
ERASMUS, J.A. 2000. Adaptation to various environments and
resistance to disease of improved Boer goat. Small
Rumin. Res. 36: 179 – 187.
GATENBY, R.M. 1988. Goat husbandry in West Timor,
Indonesia. Small Rumin. Res. 1: 113 – 121.
GEBRELUL, S. and M. IHEANACHO. 1997. The performance of
Boer cross kids under extensive management system
in Louisiana. J. Anim. Sci. 75(Suppl. 1): 11.
GREYLING, J.P.C. 2000. Reproduction traits in the Boer goat
does. Small Rumin. Res. 36: 171 – 177.
WARTAZOA Vol. 18 No. 3 Th. 2008
125
HARRINGTON, G. 1994. Consumer demands: Major problem
facing industry in consumer-driven society. Meat Sci.
36: 5 – 18.
HENDRICK, H.B., E.D. ABERLE, J.C. FORREST, M.D. JUDGE
and R.A. MERKEL. 1994. Principles of Meat Science.
3rd Ed. Kendall and Hunt, Iowa. 362 p.
HOLST, P.J. 1999. Recording and on-farm evaluation and
monitoring: breeding and selection. Small Rumin.
Res. 34: 197 – 202.
JOHNSON, W.L. and A. DJAJANEGARA. 1989. A pragmatic
approach to improving small ruminant diets in the
Indonesian humid tropics. J. Anim. Sci. 67: 3068 –
3079.
KNIPSCHEER, H.C., J. DE BOER and T.D. SOEDJANA. 1983. The
economic role of sheep and goats in West Java. Bull.
of Indonesian Economics Studies. XIX(3): 74.
KOSGEY, I.S., R.L. BAKER, H.M.J. UDO and J.A.M. VAN
ARENDONK. 2006. Successes and failures of small
ruminant breeding programmes in the tropics: A
review. Small Rumin. Res. 61: 13 – 28.
KOSGEY, I.S. and A.M. OKEYO. 2007. Genetic improvement
of small ruminants in low-input, smallholder
production systems: Technical and infrastructural
issues. Small Rumin. Res. 70: 76 – 88.
KRISNAN, R. dan S.P. GINTING. 2005. Produktivitas kambing
Kacang dengan pemberian pakan komplit buah
markisa (Passiflora edulis Sims. F. Edulis Deg)
terfermentasi Aspergillus niger. Pros. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor,
12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan,
Bogor. hlm. 625 – 629.
LEE, J.H., G. KANNAN, K.R. EEGA, B. KOUAKOU and W.R.
GETZ. 2008. Nutritional and quality characteristics of
meat from goats and lambs finished under identical
dietary regime. Small Rumin. Res. 74: 255 – 259.
LI, C., G. ZHOU, X. XU., J. ZHANG, S. XU and Y. JI. 2006.
Effects of marbling on meat quality characteristics
and intramuscular connective tissue of beef
longissimus muscle. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 12:
1799 – 1808.
LUO, J., T. SAHLU, M. CAMERON and A.L. GOETSCH. 2000.
Growth of Spanish, Boer x Angora and Boer x
Spanish goat kids fed milk replacer. Small Rumin.
Res. 36: 189 – 194.
MAKKA, D. 2004. Tantangan dan peluang pengembangan
agribisnis kambing ditinjau dari aspek pewilayahan
sentra produksi. Pros. Lokakarya Nasional Kambing
Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Puslitbang
Peternakan dan Loka Penelitian Kambing Potong.
hlm. 3 – 14.
MALAN, S.W. 2000. The improved Boer goat. Small Rumin.
Res. 36: 165 – 170.
MARTAWIDJAJA, M. 1999. Pengaruh taraf pemberian
konsentrat terhadap keragaan kambing Kacang betina
sapihan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, Bogor, 1 – 2 Desember 1998. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 478 – 484.
MARTAWIDJAJA, M., B. SETIADI dan S. SITORUS. 1999.
Karakteristik pertumbuhan anak kambing Kacang
prasapih dengan tatalaksana pemeliharaan creep
feeding. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, Bogor, 1 – 2 Desember 1998. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 485 – 490.
MCGREGOR, B.A. 1985. Growth, Development and Carcass
Composition of Goats: A Review. Goat Production
and Research in the Tropics. University of
Queensland, Brisbane, ACIAR, February 6 – 8th,
1984. pp. 82 – 90.
MORAND-FEHR. 1981. Growth. In: Goat Production. GALL, C.
(Ed.). Academic Press, London. pp. 253 – 283.
PAMUNGKAS, F.A., F. MAHMILIA, S. ELIESER dan M.
DOLOKSARIBU. 2005. Hubungan bobot induk saat
melahirkan dengan bobot lahir dan litter size kambing
persilangan Boer x Kacang. Pros. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13
September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor.
hlm. 586 – 589.
PEACOCK, C. 2008. Dairy goat development in East Africa: A
replicable model for smallholder? Small Rumin. Res.
(In Press).
PRIETO, I., A.L. GOETSCH, V. BANSKALIEVA, M. CAMERON, R.
PUCHALA, T. SAHLU, L.J. DAWSON and S.W.
COLEMAN. 2000. Effects of dietary protein
concentration on postweaning growth of Boer
crossbred and Spanish goat wethers. J. Anim. Sci. 78:
2275 – 2281.
PRIYANTO, D., B. SETIADI, D. YULISTIANI dan H. SETIYANTO.
2002. Performans ekonomi kambing Kaboer dan
kambing Kacang pada kondisi stasiun penelitian
Cilebut. Keragaan anak hasil persilangan kambing
Kacang dengan Boer dan Peranakan Etawah. Pros.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Ciawi-Bogor, 30 September – 1 Oktober
2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 212 – 216.
ROMJALI, E., L.P. BATUBARA, K. SIMANIHURUK dan S.
ELIESER. 2002. Keragaan anak hasil persilangan
kambing Kacang dengan Boer dan Peranakan
Etawah. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Ciawi-Bogor, 30
September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan,
Bogor. hlm. 113 – 115.
SETIADI, B., SUBANDRIYO, M. MARTAWIDJAYA, K. DIWYANTO,
I-K. SUTAMA, U. ADIATI, D. YULIASTINI, L.
PRAHARANI dan D. PRIYANTO. 2001. Analisis
Keunggulan Genetik Kambing Persilangan. Kumpulan
Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2000.
Buku I. Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak,
Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 182 – 199.
SIMON P. GINTING dan FERA MAHMILIA: Kambing ’Boerka’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer x Kacang
126
SITORUS, S.S. 1994. Milk production from Kacang goats in
Indonesia. Proc. of the 7th AAAP Animal Science
Congress. Bali, July 11 – 16th, 1994. Indonesian
Society of Animal Science, Jakarta. pp. 263 – 264.
SITORUS, S.S., M. MARTAWIDJAJA dan B. SETIADI. 1995.
Pertumbuhan anak kambing Kacang lepas sapih yang
berbeda tipe kelahiran dan jenis kelamin. Pros.
Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan.
Ciawi, Bogor, 25 – 26 Januari 1995. Balai Penelitian
Ternak, Ciawi, Bogor. hlm. 192 – 195.
SUNARLIM, R. dan H. SETYANTO. 2005. Potongan komersial
karkas kambing kacang jantan dan domba lokal
jantan terhadap komposisi fisik karkas, sifat fisik dan
nilai gizi daging. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September
2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 672 – 679.
TRIYANTINI, R. SUMARLIN, H. SETIYANTO, B. SETIADI dan M.
MARTAWIDJAJA. 2002. Evaluasi Mutu Daging pada
Berbagai Ras Kambing. Kumpulan Hasil-Hasil
Penelitian APBN Tahun Anggaran 2001. Buku I.
Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak,
Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 167 – 180.
VAN BINH, D. 2008. Results of research and the development
of goat production in Vietnam. Paper presented at the
International Seminar on Dairy and Meat Goat
Production. Bogor, August 5 – 6th 2008. Indonesian
Research Institute for Animal Production, Food and
Fertilizer Technology Center and Taiwan Livestock
Research Institute, 16 p.
PESTA KEMERDEKAAN PETERNAK
22.15
No comments
Community Developmment peternak kecil sangat membutuhkan
penyemangat, promosi yang tidak kalah pentingnya dengan ilmu bibit, ilmu pakan,
pengobatan. pelatihan, work shop dan di kemas dalam lomba ternak.
Koperasi Serba Usaha Peternak
Motivasi, Do'a, Ikhtiar, Tawakkal (KSUP MDIT)
PEKON Gisting Atas, Blok 18, Kec.
Gisting, Tanggamus, Lampung.
Oleh;
Sosro Wardoyo, S.Pt
Manajer
KSUP M.D.I.T
Pesta Kemerdekaan Peternak di kemas dalam Kontes Ternak di adakan oleh
Kopersari Serba Usaha Peternak Motivasi Do’a Ikhtiar Tawakkal (KSUP M.D.I.T) di
Pekon Patoman, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu-Lampung, Minggu 7
September 2014. Kontes untuk masyarakat umum ini membawa masing masing sebagai
peserta yang berdomisisli di kabupaten Tanggamus, Pringsewu dan Pesawaran.
Terdapat 7 kelompok peternak asal Kec. Pagelaran, Kab. Pringsewu, 4
Kelompok asal Kab. Tanggamus dari binaan Kampoeng Ternak Nusantara – Dompet
Dhuafa (KTN-DD) selain itu juga ada beberapa dari pembinaan pemerintah kabupaten,
berikut kelompok yang menjadi peserta;
1.
Kelompok Puspa Tanjung dari Pekon Talang Rejo
dan Pekon Tanjung Anom Kec. Kota Agung yang juga merukan kelompok Asosiasi
Kelompok Ternak (ASPONAK) Tanggamus yang merupakan lebaga dari seluruh kelompok
ternak dari binaan Pemerintah Kab. Tanggamus yang berjumlah lebih dari 60
kelompok. Kelompok Puspa Tanjung merupakan kelompok bianaan sebagai hasil
kerjasama KTN-DD dengan Pemkab. Tanggamus dalam menciptakan Sentra Ternak
Kambing Boerawa di Tanggamus sejak tahun 2005. Saat ini beranggotakan 26 mitra,
dengan jumlah ternak terakhir 189 ekor, kas terakhir Rp. 8.700.000,-. Kelompok
ini salah satu testimony yang terkenal yaitu Bapak Sadio biasa membangun rumah,
menyekolahkan anak hingga D3 hingga selesai.
2.
Kelompok Tunas Harapan dari Pekon Batu Keramat
Kec. Kota Agung Timur, berdiri pada tahun 2008, dengan anggota 14 mita,
populasi akhir sebagai asset kelompok 55 ekor dan kas terakhir 3.500.000,-
Dengan testimony terkenal sebagai keberhasilan yaitu pembuatan saluran air bagi
27 keluarga yang diberi nama air untuk kehidupan.
3.
Kelompok Al-Barokah dari Pekon Gisting Atas,
Kec. Pagelaran, berdiri pada tahun 2008, dengan anggota 12 mita, populasi
terakgir sebagi asset kelompok 72 ekor , dengan kas akhir 4.542.700. Dengan
testimony yang di banggakan yaitu Bapak Dasuki yang mampu membangun rumah,
membiayai persalinan, membeli motor dari usaha peternakn dengan pengelolaan
dana zakat infak dan shodakoh dari penyaluran Lembaga KTN-DD.
4.
Kelompok Maju Jaya dari Dusun Air Linggkar,
Pekon Pagar Alam, Kec. Ulu Belu dengan jumlah anggota 12 mitra peternak,
populasi ternak sebagai asset kelompok 50 ekor. Sebagai kelompok dampingan dana
CSR PT. Pertamina Geothermal Energy yang di damping KSUP MDIT dari tahun 2013.
5.
Kelompok Karya Maju, Pekon Bumi Ratu, Kec.
Pagelaran, yang di inisiasi KTN-DD tahun 2008 dengan anggota akhir 24 mitra,
populasi ternak 101 ekor. Testimoni yang menjadikan pendampinag KTN-DD ini
membarikan manfaat yaitu saat kelompok ini merenovasu mushola menjadi masjid
yang megah.
6.
Kelompok Amanah, Pekon Karang Sari, Kec.
Pagelaran di inisiasi KTN-DD tahun 2008 dengan anggota akhir 10 mitra, populasi
ternak 101 ekor. Testimoni yang menjadikan pendampinag KTN-DD ini membarikan
manfaat salah satunya yaitu Bapak Sarmo yang menjadi peternak kambing dengan
populasi terbanyak di dampingan KTN-DD dari 5 ekor induk yang saat ini sudah
memiliki populasi 30-an ekor.
7.
Kelompok Ganjar Sari dari Pekon Ganjaran, Kec.
Pagelaran yang diinisiasi KTN-DD di tahun 2013. Saat ini asset kelompok
sebanyak 118 ekor kambing dengan kas 304.000,- Testimoni yang menjadikan
pendampinag KTN-DD ini membarikan manfaat yaitu kelompok sudah melakukan
replacement terhadap hasil seleksi produksi, kelompok menjadi tuan rumah
louncing dan lomba ternak pertama pada 27 Februari 2014 dalam program Sentra
Ternak Kambing Pedaging Rambon Hitam Putih di Pagelaran.
8.
Kelompok Karya Candi berkedudukan di Pekon Candi Retno, Kec. Pagelaran yang diinisiasi
KTN-DD di tahun 2013. Saat ini asset kelompok sebanyak 138 ekor kambing dengan
kas Rp.1.035.000,- Testimoni yang menjadikan pendampinag KTN-DD ini membarikan
manfaat yaitu dari bagihasil antara kelompok dengan anggota selama 1 tahun
sudah menggunakannya untuk replacemen ternak sebanyak 8 ekor.
9.
Kelompok Sumber Maju berkedudukan di Pekon Patoman, Kec. Pagelaran yang diinisiasi
KTN-DD di tahun 2013. Saat ini asset kelompok sebanyak 81 ekor kambing di 16
mitra peternak dengan kas Rp.3.500.000,- Testimoni yang menjadikan pendampingan
KTN-DD ini membarikan manfaat yaitu dari bagihasil antara kelompok dengan
anggota selama 1 tahun sudah menggunakannya untuk replacemen ternak dan sudah
membentuk kelompok tani wanita beranggota 5 orang ibu rumah tangga dalam
pembenihan ikan lele.
10. Kelompok
Sido Muncul berkedudukan di Pekon
Tanjung Dalam, Kec. Pagelaran yang diinisiasi KTN-DD di tahun 2013. Saat
ini asset kelompok sebanyak 101 ekor kambing di 24 mitra peternak dengan kas
Rp.3.500.000,- Testimoni yang menjadikan pendampingan KTN-DD ini membarikan
manfaat yaitu dari bagihasil antara kelompok dengan anggota selama 1 tahun
sudah menggunakannya untuk replacemen ternak sebanyak 8 ekor. Menjadi kelompok
dengan kurban terbanyak tagun 2013 sebanyak 30 ekor.
11. Kelompok
Subur Makmur berkedudukan di Pekon
Lugusari, Kec. Pagelaran yang diinisiasi KTN-DD di tahun 2014 ini yang
merupakan kelompok termuda masih mendapat pembiayaan baru dengan jumlah ternak 44
ekor bibit.
Selain dampingan KTN-DD kelompok yang mengikuti lomba yaitu dari
Kecamatan Adiluih Yaitu Kelompok Cahaya Tani yang merupakan kelompok yang
memanfaatkan daun singkong, jenjet jagung sebagai pakan fermentasi 100%. Hadir
juga siswa siswi dari SMKN Negeri Katon dari Kabupaten Pesawaran yang
memeriahkan ikut memeriahkan acara dengan mengikuti lomba kategori menghiyas
kambing lucu dan unik dan tidak lupa dari dari akademisi juga mengikuti acara
yaitu dari Polinela Lampung dan Jurusan Peternakan dari Universitas Lampung.
Untuk kontes ternak sapi diikuti oleh 27 peternak kecil dari Kelompok Sumber
Maju yang ada di Pekon Patoman selaku tuan rumah karena untuk menhadirkan dari
luar daerah mengalami kendala biaya transportasi karena KSUP hanya mamau
memfasilitasi gratis pendaftaran hadiyah pembinaan yang kecil dan konsumsi
kepada 300 orang yang hadir dan terlibat dalam acara ini.
Kontes yang di perlombakan
dalam kegiatan yang bertajuk PESTA
KEMERDEKAAN PETERNAK meliputi (1). Pejantan kambing eksekutif
dari segala jenis kambing yang ada yaitu rambon, boerawa, boer, ettawa, kacang,
jawarandu. Yang di menangkan oleh juara 1 kelompok Al Barokah yang di leleng
dengan harga 15 juta hadiah pembinaan
Rp.500.00,-, juara 2 kelompok Al Barokah juga dengan hadiah pembinaan
Rp.300.00,- dan Juara 3 kelompok Cahaya Tani dengan hadiah pembinaan Rp.150.000,-. (2). Sepasang induk kambing rambon hitam putih yang di
menangkan oleh juara 1 kelompok Sido Muncul dengan hadiah pembinaan Rp.750.00,-, juara 2 kelompok Cahaya Tani
dengan hadiah pembinaan Rp.500.00,- dan Juara 3 kelompok Sumber Maju hadiah
pembinaan Rp.250.00,-. (3). Sepasang calon induk kambing dari
segala jenis kambing yang di menangkan oleh juara 1 kelompok Karya
Candi dengan hadiah pembinaan
Rp.750.00,-, juara 2 kelompok Al Barokah dengan hadiah pembinaan
Rp.500.00,- dan Juara 3 kelompok Tunas Harapan dengan hadiah pembinaan Rp.250.00,-. (4). Menghiyas kambing lucu dan unik yang di menangkan oleh
juara 1 SMKN 1 Negeri Katon dengan hadiah pembinaan Rp.300.00,-, juara 2 kelompok Amanah dengan hadiah
pembinaan Rp.200.00,- dan Juara 3 SMKN 1 Negeri Katon dengan hadiah
pembinaan Rp.250.00,-. (5). Induk sapi yang di
menangkan oleh juara 1 Bapak Hermansyah dari Sumber Maju dengan hadiah
pembinaan Rp.500.00,-, juara 2 Bapak
Jumono dari Sumber Maju dengan hadiah pembinaan Rp.300.00,- dan Juara 3 Bapak
Sugiman dari Sumber Maju dengan hadiah pembinaan Rp.150.00,-. (6). Calon Induk sapi yang di menangkan oleh juara 1 Bapak
Suwarso dari Sumber Maju dengan hadiah pembinaan Rp.500.00,-, juara 2 Bapak Sugiman dari
Sumber Maju dengan hadiah pembinaan Rp.300.00,- dan Juara 3 Bapak Restu dari
Sumber Maju dengan hadiah pembinaan
Rp.150.00,-.
Dari selain dari peserta dan tamu yang hadir sebanyak 300 orang acara
ini dihadiri Bupati Pringsewu H. Sujadi Saddat beserta seluruh kepala dinas
terkait dan tokoh masyarakat yang di mulai sejak pukul 09.30 itu. H. Sujadi Saddat
mengapresiasi gegiatan itu dan berharap bisa diadakan 2 tahun sekali dan
berjanji akan memberikan pasar ternak kambing domba yang merupakan pasar ternak
kambing terbesar di Sumatra untuk di tindaklanjuti dimana selama ini pasar ini
tidak mendapat sentuhan dari pemerintah. Dan beliau berharap bisa menjadi
Kabupaten dalam hal daerah penghasil ternak kambing di Lampung. “Setelah
kegiatan ini, Pemerintah Kabupaten Pringsewu mendukung dikembangkanya pasar
hewan yang representative” kata H. Sujadi Saddat.
Sosro Wardoyo selaku Manajer KSUP M.D.I.T yang juga merupakan
pendamping peternak menjadi keua panitia kegiatan dalam rangka memperingati HUT
Ke-69 kemerdekaan NKRI. Tujuan dari acara ini yaitu memotivasi peternak dan
menjaga keamanahan pengelolaan ternak, mengembangkan potensi lokal secara
mandiri, memperkenalkan model pemberdayaan peternak kepada steakholder terkait,
meningkatkan profesionalisme peternak dalam melakukan bisnis peternakan,
mempererat tali silahturahmi diantara peternak dan memperluas jaringan pasar.
MENGHIYAS KAMBING. Salah satu kontes yang diadalkan yaitu menghiyas kambing untuk menfasilitasi peternak yng memiliki kabing jenis potong dan agar peternak lebih bersemangat dan termotivasi. |
Langganan:
Postingan (Atom)